Come in with the Rain

Minggu, 20 Mei 2012

My First Incidentally Meeting with Something Called "Sastra"

I love reading.  Bahkan sebelum saya bisa membaca dan merangkaikan huruf-huruf menjadi sebuah kalimat.  Saat Ibu saya mulai tidak sempat membacakan dongeng-dongeng dari majalah Bobo milik kakak, saya pun terpaksa - dan dipaksa - untuk membaca sendiri.  Di bawah didikan ala Sparta dari kakak, saya berhasil membaca koran di usia 4 tahun, dan pelajaran di bangku Taman Kanak-Kanak pun menjadi sangat membosankan. #smug :)

Saya suka membaca apa saja.  Bahkan saat di perjalanan, mata saya tidak pernah berhenti memandangi huruf-huruf yang berkelebatan.  Tapi, pertemuan pertama saya dengan karya sastra adalah dengan sebuah puisi karya Sapardi Djoko Damono di halaman depan pojok kanan bawah Kompas Sabtu, lebih dari 10 tahun lalu, dan sampai saat ini saya tidak tahu judulnya, tapi saya hapal mati puisinya..

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Setelah membaca puisi itu, saya langsung tertarik dengan penuturan cerita yang menggunakan tata bahasa yang baik dan benar dan -kebanyakan- metaforis, atau yang biasa mereka sebut "Sastra".  Saya sendiri sih tidak begitu mengerti.  Saya pun tidak bisa membedakan mana yang baik dengan yang buruk, mana yang kontemporer mana yang klasik, saya hanya membedakannya menjadi tiga jenis: 1. Yang saya mengerti dan enak dibaca.  2. Yang saya mengerti tapi tidak enak dibaca.  3. Yang saya tidak mengerti dan tidak enak dibaca.  Yah, penggolongan yang saya baca memang murni berdasarkan selera saya, dan pasti tidak sama dengan orang lain. Dan sungguh (bukan) sebuah kebetulan saya bersekolah di SMA dengan koleksi buku lengkap di perpustakaan.  Jadi mulai SMA, saya sudah terbiasa dengan karya macam Memoirs of Geisha, Sam Pek Eng Tay, Ca Bau Kan, Da Vinci Code, sampai sastra lama seperti Salah Asuhan.

Tapi tidak ada karya sastra yang mampu merubah pola pikir dan cara pandang saya selain karya dari Dewi "Dee" Lestari.  Buku pertama yang saya baca adalah Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh.  Dan setelah perkenalan dengan buku pertama, saya pun mulai kecanduan dengan semua karyanya.  Books, Songs, and coming soon Movies.  It was just like finding an oasis in the middle of the dessert (Oke, mungkin terdengar sedikit lebay).  But it's true, please feel free to proof it yourself.  Membaca karya-karyanya membuat saya merasa tidak tahu apa-apa dan rasanya jadi ingin membaca lebih banyak supaya bisa tahu lebih banyak, hehe..
Saya akan re-post puisi-puisi yang tercetak di halaman awal seri Supernova.  Buat yang ingin tahu lebih banyak, bisa baca bukunya langsung, or just simply follow her @deelestari, or @deequotes or www.dee-idea.blogspot.com .  Hope you like it too.. ;)

Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh

Engkaulah getar pertama yang meruntunhkan gerbang tak berhujung mengenal hidup.
Engkaulah tetes embun pertama yang menyesatkan dahagaku dalam cinta tak bermuara.
Engkaulah matahari firdausku yang menyinari kata pertama di cakrawala aksara.

Kau hadir dengan dengan ketiadaan.
Sederhana dalam ketidakmengertian.
Gerakmu tak pasti.

Namun aku terus disini.
Mencintaimu.
Entah kenapa.

Supernova : Akar

Engkaulah gulita yang memupuskan segala batasan dan alasan.
Engkaulah petunjuk jalan menuju palung kekosongan dalam samudra terkelam.
Engkaulah sayap tanpa tepi yang membentang menuju tempat tak bernama namun terasa ada.

Ajarkan aku.
Melebur dalam gelap tanpa harus lenyap.
Merengkuh rasa takut tanpa perlu surut.
Bangun dari ilusi namun tak memilih pergi.

Tunggu aku.
Yang hanya selangkah dari bibir jurangmu.

Supernova : Petir

Engkaulah kilatan cahaya yang menyapulenyapkan segala jejak dan bayang.
Engkaulah bentang sinar yang menjembatani jurang antar duka mencinta dan bahagia terdera.
Engkaulah terang yang kudekap dalam gelap saat bumi bersiap diri untuk selamanya lelap.

Andai kau sadar arti pelitamu.
Andai kau lihat hitamnya sepi di balik punggungmu.

Tak akan kau sayatkan luka demi menggarisi jarakmu dengan aku.

Karena kita satu.

Andai kau tahu.

Supernova : Partikel

Engkaulah keheningan yang hadir sebelum segala suara
Engkaulah lengang tempatku berpulang

Bunyimu adalah senyapmu
Tarianmu adalah gemingmu

Pada bisumu, bermuara segala jawaban
Dalam hadirmu, keabadian sayup mengecup

Saput batinku meluruh
Tatapmu sekilas dan sungguh
Bersama engkau, aku hanya kepala tanpa rencana
Telanjang tanpa kata-kata

Cuma kini
Tinggal sunyi

Dan, waktu perlahan mati.

 

Rabu, 09 Mei 2012

Judulnya Mencoba Menghibur Diri Sendiri...

Ibu saya - yang lebih banyak ngomel daripada ceramah, hehe.. - pernah memberikan satu kalimat yang selalu saya ingat..
"Manusia itu ada yang dicoba dengan kemudahan, ada juga yang dicoba dengan kesulitan"
just a simple sentence i know, but it means a lot.
Pernah ngga sih, bertemu orang yang menurut kita "perfect" ? Saya..sayangnya sering.

Kakak kelas saya jaman SMA, is absolutely perfect - at least, that's how i saw him.  Gimana nggak, pinter, anak orang pinter, kaya dari lahir, ketua osis, aktivis rohis, plus guanteng yang bikin semua orang kelibas (yg ini agak saya perbuas,hee..).  Ibarat orang Jawa bilang, Bibit-Bebet-Bobot sudah lulus uji kelayakan.  Semua yang kakak ini kerjakan pasti hasilnya oke, kalo pidato di depan orang juga keren, dan semenjak dapet beasiswa kuliah di NTU, kakak ini tinggal di sana..terakhir dengar kabar kalau sudah menikah dengan teman sekelasnya pas SMA dulu..life just like a fairy tale for him.
Ada lagi teman saya, super cantik, pinter, kuliah di kampus no.1, uang bukan sesuatu yang dipikirkan, lembut tutur katanya, plus dapet suami dokter yang juga tipikal perfect seperti itu.. Haaah..life sometimes seems so unfair.  Seperti sebuah kalimat di novel yang pernah saya baca "Betapa mood Tuhan sedang bagus saat menciptakannya.."

Sebagai orang yang terlahir dari kaum rakyat kebanyakan, kasta sudra mungkin kalau di India, ditambah terlahir di dunia di mana materi berwujud menjadi benda-benda yang harus diperjualbelikan, hal yang material memang selalu jadi tolak ukur keberhasilan -garis miring- kebahagiaan.  Walaupun statement saya akan dicap sebagai hal yang materialistis, saya akan mengambil poin "realistis" dari kata tersebut.  Mereka yang pernah merasakan penderitaan sampai ambang batas kesabaran tidak akan berkata "uang bukan segalanya" atau "money can't buy happiness".. i've been there..and that was something i would never ever ever let it happen to me again. 

Dan seperti cerita saya, ada banyak orang yang sepertinya menjalani hidup dengan sangat mudah, apapun yang diinginkan pasti mudah didapatkan, yang sayangnya sering mengundang rasa iri.  Tapi, saya pribadi tidak pernah merasa iri.  Kalau berkata "kapan ya bisa kayak gitu.." atau "coba kalau saya seperti itu juga.." itu sih jujur aja lumayan sering :D 
tapi setelah itu yaa kembali melanjutkan kehidupan normal saya yang sudah menanti. 

Di sisi lain, ada juga orang-orang yang ditakdirkan hidup dalam kondisi serba kekurangan.  Orang-orang tua yang seharusnya di rumah menggendong cucu namun masih memulung sampah, mereka yang tinggal di gerobak, mereka yang mencari makanan sisa yang masih layak, dan mereka-mereka lainnya yang saya tidak pernah sanggup untuk menatap matanya lama-lama, bukan karena jijik atau lain hal, tetapi karena saya belum bisa melakukan apa-apa untuk membantu.  Saya malu.  Dan saya tidak ingin mereka melihat saya terharu.

Manusia, memang pada dasarnya makhluk egois yang suka membanding-bandingkan.  Kita sering membandingkan kebahagiaan dan penderitaan.  Merasa lebih jika mendapat kebahagiaan.  Merasa senang jika masih ada yang kurang beruntung.  Padahal, seperti yang Ibu saya katakan
"Manusia itu ada yang dicoba dengan kemudahan, ada juga yang dicoba dengan kesulitan"
jadi, semua yang kita miliki pada hakikatnya adalah cobaan.  Apakah dengan cobaan-cobaan itu kita masih dapat mengingat unsur utama kita yang diciptakan dari tanah.  Saya selalu berusaha mengingat kata-kata Ibu itu setiap hari, terutama saat saya sedih.  Tuhan pun memiliki cara Nya sendiri untuk menghibur saya, setiap kali saya merasa sedih, saya akan naik ke lantai paling atas (kost-kostan saya tingkat 3 :p ) dan di langit malam, pasti ada hamparan bintang yang berkilauan, yang seperti berkata "you're just gonna be allright".  Seriously, it's real.  And i will take a deep breath, menghibur diri sendiri sambil berkata "mungkin memang sedang dicoba dengan kesulitan, siapa tau lain kali dicoba dengan kemudahan."