Come in with the Rain

Senin, 16 Desember 2013

Grown Ups Thing


when you said you're going to get married next year,
honestly I didn't know what to say
i should have said congratulation if i follow the ethics
but those words seemed very hard to slip away

my first thought was our debate,
our long discussion about your  apathetic
our long conversation about human and destiny
about literature, quotes, songs, and poetry,
about words, beautiful words, something that others may think as a boring subject
about economic theory, and how i never get that
about the past and the future,
something we would never understand

then i thought i'm gonna lose an equal enemy in our endless fight
an enemy i respect
someone who never feel intimidate by my thought, none like the others
someone who could cruelly say that i'm mediocre but i end up laughing instead of being insulted

and then next year, in the name of ethics too,
i should not asking you about something that would turns out into endless debate
i should keeping the distance into somewhat i call now as a cliche relation
i should show up just to ask how's work and the weather
and i'm gonna follow your life just from your pictures shown

i know that people change,
things change,
life changes,
normal people should grow up
and now i think i know why Peter Pan refused to be grown ups,
if to be grown ups mean losing some people because they no longer fit in our life,
can i refuse too?


because it's not who you can live with actually,
but who you can't live without..

Jumat, 29 November 2013

Things i wanna do before i die..


Things I wanna do before I die:

1.       Trapped in the middle of flash mob without knowing it, and then dance along with the mob. 

2.       Being in the front line of live concert from my favorite musicians:  Simple Plan, Taylor Swift, or Maroon 5.  Scream with the energy of Pierre’s voice, or swear with the revenge song from Taylor, or staring and drooling for Adam Levine.

3.       Being able to play guitar and sing my favorite songs with it.  And it will gonna be a looooong playlist.

4.       Being a teacher and then have my own school, one like in Totto chan novel.

5.       Traveling to other island or other country with my best friends.  Spending a whole week doing nothing but explore.

6.       Join a dancing class, traditional dancing and pop dance will be great.

7.       Visiting London and try to find 9 ¾ platform at the King Cross Station, hopefully I find Hogwart Express too.


8.       Have a farmyard and lots of milk cow, so I can drink fresh milk everyday, making ice cream, playing on the yard, and walking around with my barefoot on the grass.

9.       Living in a neighborhood with my soul-sisters only doors away, maybe we can make a neighborhood’s choir or something and join a championship every independence day.



10.   Tell everyone I love, how much I love them and how grateful I am too meet them and for them being a part of my life, right before I die.


.                                                                                                                   .. to be continued.. 




"Synopsis"


“don’t judge the book by it’s cover”

Terlalu naïf rasanya jika terus menganggap semua orang akan berpegang pada pepatah tersebut.  Menilai seseorang dari penampilan luarnya, cara bicaranya, bagaimana pergaulannya, kekayaannya, atau apa saja yang akan dijadikan tolok ukur penilaian kita rasanya tidak akan pernah bisa objektif kalau kita tidak mengalami apa yang orang itu alami tiap detiknya.  Termasuk keputusan-keputusan yang dibuat oleh seseorang.  Manusia kan pada dasarnya hanya pengamat dan penikmat, aneh rasanya jika harus menjadi penilai bagi orang lain sementara dirinya sendiri juga belum tentu lebih bagus dari orang yang dinilai (jujurlah tendensi kita pasti ingin menilai orang lain berada di bawah kita).

Tetapi, di era penuh pencitraan seperti saat ini, kitalah yang harus menentukan citra apa yang ingin kita buat dan kita tampilkan ke orang lain.  Karena first impression seseorang datang dari mata, dari apa yang dia lihat, barulah orang lain akan bersedia mengenalnya lebih jauh.  Ibarat sebuah sinopsis yang tertulis di sampul belakang sebuah buku, and we’re the one who should write that synopsis of ourselves.  and no I’m not just talking about fashion, it’s also about manners. 

First, fashion.  Personally, I’m not fashion freak, saya ngga pernah merasa ada kewajiban mengikuti tren-tren fashion yang lagi ‘IN’ banget, saya hanya memakai baju yang menurut saya nyaman, yang juga menurut saya orang lain akan nyaman melihatnya.  Oke mungkin selera orang akan berbeda-beda, tetapi rasanya sebagian besar orang akan setuju kalau melihat terlalu banyak motif tabrak lari atasan dan bawahan itu agak aneh.  Atau dengan warna yang terlalu mencolok dan seragam dari atas sampai bawah, atau yang warnanya sama sekali ngga nyambung atas dan bawah.  Atau yang bajunya kucel dan kotor apalagi beraroma.  Atau yang memakai celana/rok terlalu ketat sampai garis celana dalamnya kelihatan –pilihlah mau pakai seamless panties atau pakaian yang tidak terlalu ketat.  Atau terlalu update sampai-sampai tidak peduli lagi apakah style itu cocok dengan tubuhnya atau tidak.  Rasanya banyak sekali kejanggalan mode yang sepertinya malah akan menjadikan saya dicap sebagai “Kudet – Kurang apDET” .  But please, anyone, pilihlah fashion yang setidaknya masih diterima dalam batas wajar di tempat kalian tinggal, yang sesuai dengan kepribadian dan juga acara yang dihadiri, jangan sampai salah kostum dan menjadi fashion crime.

Second, manners.  For me, manners DOES matters, it actually shows us how your parents teach you. Mengucapkan “tolong” “maaf” “permisi” dan “terima kasih” rasanya sudah semakin sulit diucapkan sekarang-sekarang ini.  Berbicara sambil teriak-teriak, ketawa cekikikan sampai kedengaran meja sebelah di restoran, makan tapi mulut dan tangan berisik, malas menegur dan senyum lebih dulu ke orang-orang yang sering ditemui, merasa diri paling oke dan paling apdet sampai merendahkan orang lain, dan banyak lagi hal-hal kecil yang bisa bikin “ilfil” seketika.  Dan rasanya kaum adam akan mendapat nilai lebih jika menerapkan manner ini dengan baik, gelar “Gentleman” pun tidak akan sungkan kami sematkan ke cowok-cowok yang kalau nyebrang selalu ambil posisi kanan lalu pindah ke kiri saat di ruas penyebrangan kedua, atau mereka yang tidak segan membukakan pintu, atau yang tetap bersifat ramah dan humble, cowok-cowok yang tidak merokok di dalam angkutan umum atau tempat umum lainnya, it’s the little things that men usually don’t realize but it actually means a lot. 

Jadi menurut saya, don’t judge the book by it’s cover only, read the synopsis, and if you like it, you can read the whole chapter inside, and maybe write a recommendation on the front page.  J

Kamis, 21 November 2013

a whole new world ..


Huaaa.. it’s been a long while since my last post.  Rasanya sudah banyak kejadian yang terlewatkan, dan entah sekarang masih diingat atau tidak.  Saat Pak Tommy-Bos saya di tempat kerja dulu- bertanya tentang catatan-catatan kecil saya, that time I suddenly realized that I miss writing so much.

September lalu, saya mulai terlibat dalam aktivitas yang sudah yah kurang lebih 4 tahun tidak saya lakukan, yaitu kuliah dan mengerjakan segala pernak-perniknya.  Lalu kemudian saat orang-orang di sekitar saya tau apa yang kini saya lakukan, pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang datang berentetan seperti petasan adalah: kuliah dimana? Jurusan apa? Ngapain kuliah lagi? Kenapa lo ambil begituan? XD dan hal-hal sejenis lah yang ditanyakan.  Pertama, saya kuliah di universitas milik yayasan PGRI di dekat rumah, lalu, ambil jurusan yang 1000% melenceng dari almamater awal, yaitu Pendidikan Bahasa Inggris, trus kenapa, ya pasti biar bisa jadi guru hehe..

Entah kenapa saya selalu merasa orang-orang berpikir diam-diam bahwa saya stress dan kurang kerjaan saat saya mengatakan cita-cita saya, but no, absolutely not.  Rasanya memang dari dulu saya menyadari profesi guru sangat menyenangkan, dan kalaupun nanti saya tetap ingin bekerja seperti saat ini, saya bisa mengajar untuk pekerjaan tambahan.  Prinsipnya sama seperti gelas yang diisi air terus-menerus.  Lama-lama air dalam gelas akan tumpah kan, jadi lebih baik menumpahkannya dalam gelas-gelas yang lain, yang mungkin akan menjadi lebih bermanfaat.  Dan ngomong-ngomong tentang guru, mungkin sosok yang sangat menginspirasi saya adalah Butet Manurung, lulusan S2, kehidupan lebih dari cukup, bisa punya karir yang menjanjikan di Jakarta, mungkin bisa jadi anggota dewan, tetapi lebih memilih mengajar anak-anak dari Suku Anak Dalam di tengah hutan dan mendirikan Sakola Rimba.  Mungkin saya belum se-ekstrim itu, but who knows someday?

Minggu lalu saya juga baru menyelesaikan satu judul film seri (yap, Korea lagi)  yang menceritakan tentang kehidupan seorang guru dan murid-muridnya, judul filmnya The Queen’s Classroom.  Guru Ma dalam cerita tersebut, adalah seorang guru yang sangat kejam bahkan sampai dijuluki Nenek sihir Ma.  Dan hal itu bukan tanpa alasan, dari awal saya selalu merasa Guru Ma tidak berperikemanusiaan.  Mendiskriminasi anak berdasarkan nilai, mengadu domba anak muridnya, menghukum dengan pekerjaan fisik yang melelahkan, bahkan membiarkan seorang muridnya dikucilkan.  But later on, di episode-episode terakhir terungkaplah bahwa Guru Ma sengaja bertindak seperti itu agar seluruh kelas bersatu, walau untuk melawannya.  Guru Ma sengaja mendidik anak muridnya dengan keras agar mereka tahu bahwa kehidupan nyata juga sama-bahkan lebih-keras.  Dan dibalik sifatnya yang keras, dia menyimpan catatan yang sangat detail tentang setiap anak didiknya, sampai ke sifat dan psikologis si anak.  Dia bahkan tidak peduli jika anak-anak akan membencinya, dia hanya ingin tiap anak berjuang melawan kekurangan mereka, dan percaya bahwa mereka tidak sendirian, percaya bahwa mereka memiliki teman-teman yang akan membantu mereka.

Dan di episode terakhir yang mengharukan, saya teringat dialog Guru Ma dengan Kim Seo-hyun.

Kim Seo-Hyun:  “Guru, Guru pernah mengatakan bahwa orang yang belajar untuk masuk universitas yang baik atau mendapatkan pekerjaan yang baik agar punya uang banyak adalah kesalahan besar.  Guru juga mengatakan belajar untuk mendapat nilai terbaik juga adalah hal yang bodoh.  Jika seperti itu, lalu untuk apa kita belajar?”

Guru Ma              :  “Ya, aku akan selalu berpendapat belajar untuk hal-hal seperti itu adalah kesalahan.  Ingatlah, ketika kalian masih bayi, kalian akan belajar mengenali siapa orang yang memberi kalian makan, siapa orang yang akan kalian panggil ayah dan ibu, kalian akan mulai membedakan benda-benda disekitar kalian, kalian akan mulai menjejakkan kaki kalian ke tanah.  Untuk apa semua itu, karena kalian ingin tahu seperti apa rasanya.  Saat mulai dewasa kalian juga setiap hari bertanya kepada orang tua kalian, dan kalian akan terus mencoba melakukan hal-hal yang tidak pernah kalian lakukan.  Untuk apa, karena kalian ingin tahu.  Jadi jangan lupakan rasa ingin tahu kalian itu, ingatlah, bahwa kalian belajar karena kalian ingin tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang kalian lontarkan,dan kalian pikirkan.  Jika kalian belajar karena keingintahuan itu, maka kalian pun tidak akan pernah berhenti belajar.”

dan ada satu lagi dialog dari murid bernama Shim Ha-na kepada Guru Ma.

Shim Ha-na         :  "Guru, Guru pernah berkata bahwa hanya 1% orang di dunia ini yang benar-benar bahagia, yang mendapatkan apa yang mereka inginkan setelah bekerja dan belajar dengan keras.  Tapi apa yang kurasakan berbeda.  Seo-hyun merasa bahagia saat membaca buku, Dong-Goo bahagia saat bermain dengan serangga, Bo-mi bahagia saat menggambar komik, aku bahagia saat wajahku dibuat komik oleh Bo-mi.  Jadi bukankah kebahagiaan setiap orang berbeda-beda, dan jika ada 25 anak di kelas ini berarti ada 25 macam kebahagiaan?"

Guru Ma             : "Shim Ha-na, peganglah terus apa yang kamu percayai.  Apapun yang terjadi, kamu harus berjuang untuk apa yang kamu percaya.  Ingatlah kalau kalian tidak sendirian, jadi jika kamu bahagia, kamu harus melihat teman-temanmu, melihat apakah mereka juga bahagia.  Jika kamu bahagia, temanmu juga harus ikut bahagia."

Terlepas dari apa yang akan saya hadapi nanti, terlepas dari takdir yang sudah digariskan, apapun itu, saya tidak menyesal, karena sudah melakukan apa yang saya sukai saat ini  Terus belajar karena ingin mengetahui sesuatu.  Melakukan hal-hal yang membuat saya bahagia.  Dan tentu saja ikut menyaksikan kebahagiaan orang-orang di sekitar saya.




Jumat, 24 Mei 2013

The idea is to pass on kindness..


Energi tidak dapat diciptakan ataupun tidak dapat dimusnahkan, energi hanya dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain (Hukum Kekekalan Energi - James Prescout)



Saya selalu berpikir, bahwa hidup ini adalah energi.  Dan kehidupan adalah kumpulan energi gigantis yang mungkin bisa menyamai galaksi Milky Way itu sendiri.  Dan seperti hukum kekekalan energi diatas, bahwa kehidupan ini tidak dapat dimusnahkan, hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain.  Bukan, saya bukan bermaksud mengatakan saya tidak akan mengalami kematian, karena di kitab suci yang saya yakini pun setelah kita mati, kita akan berpindah kehidupan.  Tetapi ”energi” kita berubah menjadi bentuk tak kasat mata, berada di alam yang tak kasat mata pula, dan akan kekal di tempat baru tersebut.

Lalu teringatlah saya suatu ide dari acara Oprah Show.  Idenya adalah ”to pass on kindness” atau ”meneruskan kebaikan”.  Di acara tersebut diliput orang-orang yang memiliki ide untuk meneruskan kebaikan yang mereka terima kepada orang lain – secara acak.  Yang saya ingat ada salah satu dari pelakunya tiba-tiba memberikan uang USD 500 kepada seorang ibu di belakangnya saat ia mengantri di kasir swalayan.  Ibu yang menerima uang tersebut pastinya kaget dan curiga, tetapi dijelaskan, bahwa ia hanya ingin ”meneruskan kebaikan” karena ia telah menerima rezeki yang mendadak datang.  Yang menarik adalah keajaiban semesta.  Saat si ibu yang menerima uang diwawancarai (oya, acara ini diliput dengan kamera tersembunyi) ia mengatakan bahwa ia sedang mengalami masalah dan membutuhkan uang, dan ia sangat bersyukur mendapatkan rezeki yang tidak terduga.  Dan tentunya ibu ini kemudian mengikuti ide ”to pass on kindness” tersebut dan meneruskan kebaikan yang ia terima kepada orang lain.

Kebayang ngga sih  dengan ide yang seperti itu dan kemudian hidup yang berputar, kebaikan yang kita teruskan pun akan kembali kepada diri kita sendiri.  My friend once said, kebaikan yang kita terima bisa jadi adalah karena rahmat dari Tuhan, atau bisa juga karena kebaikan yang pernah kita lakukan.  So that’s it.  In my belief, there’s been written in Qur’an “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya.  Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula”  (Az Zalzalah 7-8). 

Ah, tidak, saya tidak bermaksud berdakwah dengan dalil-dalil supaya terlihat seperti orang baik-baik.  Hanya saja, rasanya menyenangkan berbuat baik kepada orang-orang yang tidak kita kenal.  Memberi tumpangan payung ke orang yang berjalan hujan-hujanan di sebelah kita, menawarkan membawakan barang yang kelihatan berat ke kakek-kakek yang berjalan sendirian, dan kebaikan-kebaikan kecil lainnya.  Andai saja dunia dipenuhi dengan kebajikan-kebajikan kecil seperti itu.. 
  
The idea is to pass on kindness, to pass on energy, a good energy, so we –that trapped inside a super massive field of energy – will live in peace and harmony.  So at least, even we’re not gonna live forever, our energy will transform into something good.



Rabu, 15 Mei 2013

I Will ...

a beautiful song by David Foster ft Chris Kirkpatrick


When life seems hopeless
And you're all alone (all alone)
And no-one's there to dry
The teardrops from your eyes
When you can't find a single reason left to try
Baby I will (baby I will)
Baby I will

Tell me the secrets
That you've locked away (locked away)
Confide your deepest fears
That haunt you every day
All of the little things
Nobody else could understand
Baby I will (baby I will)
I will

It's alright
I'll be there
Count on me
Anytime, anywhere
I'll show you love
'Till the end of my life
When no-one else will stand by your side
I will

When all you've counted on
Comes tumbling down (tumbling down, tumbling down)
And there's only emptyness
That nothing seems to fill
And when you can't remember
How to be strong
Baby I will (baby I will)
I will

It's alright
I'll be there
Count on me
Anytime, anywhere
I'll show you love
'Till the end of my life
When no-one else will stand by your side
I will

When no-one else will stand by your side
I will

It's alright
I'll be there
Count on me
Anytime, anywhere (anytime, anywhere)
I'll show you love (I'll show you love)
'Till the end of my life
When no-one else will stand by your side

I'll be standing right by your side
I will






Download this song here

Susahnyaaaa cari lagu ini.. I really love the lyrics, and the melody makes it very comforting.
It always feels like a sweet hug every time i listening this song.

Selasa, 14 Mei 2013

it was in my head when i went home

On my way home i thought
that destiny is always playing tricks on me
it somehow drew my line across yours
then the next thing i knew,
i just keep watching you from the corner of my sight
But then again,
it's just a game of fate
our line was designed only for crossing each other
for i hope it would make a circle
I've been trying to stop questioning why
but sometimes that "why" questions still pop out when I'm alone
Then, i'm just tired
I decided to play this game.

Selasa, 07 Mei 2013

1st Anniversaire


Saking asyiknya, saya sampai tidak sadar kalau sudah satu tahun berlalu semenjak saya membuat blog ini.  Dan masih saja orang bertanya:” kenapa sih lo suka nulis-nulis aneh-aneh?”  , pertanyaan yang hanya saya jawab sambil lalu tapi sanggup membuat saya berpikir, bukan karena sulit menemukan jawabannya, tetapi karena terlalu banyak jawaban yang tersedia.

Tere Liye, salah satu pengarang favorit saya, pernah menulis di fanpage facebooknya, lupa sih kalimat bagusnya bagaimana, tapi intinya “Kalau mau menulis, menulis saja, tidak usah dipikirkan apakah tulisan kita bagus atau tidak, apakah ada yang baca atau tidak, apakah disukai atau tidak, atau lebih parah, apakah akan dijiplak atau tidak.  Terlalu banyak berpikir justru akan menyurutkan niat kita untuk berbagi.”

Jadi, dengan berpegang teguh pada kata-kata itu, saya tetap menulis.  Karena apa?  Here are some of my reasons

a.        I need a “Pensieve”.  Seperti yang dimiliki Professor Dumbledore di ruang kepala sekolah Hogwarts.  He said man will getting old and forget some important memories, sayangnya saya tidak dapat undangan untuk bersekolah di Hogwarts, jadi saya memutuskan untuk membuat “my own Pensieve”
b.      Sama seperti orang yang terlalu banyak makan sampai perutnya penuh dan –maaf- diare, begitulah kira-kira apa yang terjadi di kepala saya.  Too many things inside my mind, yang saya khawatirkan akan merembes keluar dan hanya membaur menjadi udara.  Jadi lebih baik disuarakan dulu kan ya?
c.       Saya menikmati koordinasi antara otak-mata-dan jari saat menulis.  Terutama bunyi keyboard yang berdetak cepat saat ide mengalir deras.  It. Was. Amazing.
Milyaran neuron yang mengalirkan pesan dari kepala sampai ke tangan dalam waktu sepersekian detik, membayangkannya seperti melihat potongan film Mission Impossible yang terkenal – api yang menjalar di sumbu bom waktu dengan theme song nya yang khas, yah kurang lebih seperti itu.

Lalu tujuannya apa?  Kalau mungkin suatu saat akan dijadikan buku seperti Raditya Dika, atau Ika Marissa, atau penulis terkenal lainnya, rasanya masih jauh.  Yang paling saya inginkan di atas apapun -sama ketika saya membaca tulisan orang lain- ketika yang membaca tulisan saya mengalami hal yang sama dengan yang saya ceritakan, mereka akan tahu kalau mereka tidak sendirian.   That will be more than enough.


Long Live!

Senin, 29 April 2013

Fraction #3


The messages

“Rei, aku sudah selesai memeriksa dokumen yang kamu berikan.  Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan.”
“Oke pak, Senin aja saya ke kantor Bapak.”
“Kamu segitu ngga ingin diganggunya ya kalau untuk urusan kantor di luar jam kerja?”
“Mmm..ini yang namanya hidup berkualitas Pak :p “
“Tapi bener-bener ngga bisa diganggu walaupun urusan darurat ya?”
“Case by case sih Pak, dan untuk kasus Bapak sepertinya memang harus menunggu Senin, karena dokumennya saya tinggal di kantor.”
“Kenapa sih harus panggil saya ‘Bapak’ ? Rasanya umur kita ngga jauh beda.. Umur kamu berapa sih?”
“A secret makes a woman ‘woman’ Pak :D “
“Hee..kamu baca Detective Conan juga?”
“Oooh Bapak juga baca ya?  Kalau begitu bisa tebak umur saya dong.. :p “
“Kalau sekali tebak langsung benar kamu traktir saya makan siang ya?”
“Kalau saya bohong juga kan Bapak ngga tau selama belum liat KTP saya”
“Kamu bukan tipe orang yang bisa bohong, langsung ketahuan di muka.  Sama ketahuannya waktu kamu sebel banget saya coret-coret dokumen kamu kemarin”
“Kalau tahu kok ya masih diterusin..”
“Pertama, karena memang harus dikoreksi, dan lebih cepat kalau saya coret langsung kan?  Kedua, karena muka kamu yang cemberut sambil manyun itu bikin saya ngga tahan untuk ngerjain kamu, hahaha..”
“Oh, oke..saya tiba-tiba jadi ngantuk, Bapak ngga ada kerjaan lain kah?”
“Hahaha..hei, kita belum selesai, kalau sekali tebak umur kamu saya langsung benar, saya ditraktir makan siang, dan kamu harus berhenti panggil saya ‘Bapak’.  Oke? “
“Kalau salah?”
“Saya traktir kamu makan siang seminggu penuh, gimana?”
“Modus lama itu Pak, enak di Bapak dong..”
“Hahaha..are you always this cold?”
“Like I said before, it was case by case.”
“So, I guess I’m a special case?”
“Kalau salah, Bapak bisa langsung kerjain kerjaan Bapak yang lain, dan saya juga melakukan hal yang lain ya?”
“Ooow..itu mengusir secara halus ya? :D “
“Oke, let’s begin with your single answer.  Think about it carefully, you only have one chance.”
“24”
I drop my phone in surprise.
“Rei, bener ngga?”
“How do you know?”
“Just a feeling.  But m y feeling is usually right.  Isn’t it?”
“Baiklah, demi nama kebenaran dan keadilan yang saya junjung tinggi, saya mengakui jawaban Bapak benar.  Senin saya traktir Bapak makan siang, tapi jangan di tempat yang mahal-mahal ya Pak.”
“Hahaha.. ulang lagi dong kalimatnya, tapi dengan persyaratan yang kedua: jangan pake ‘Bapak’.”
“Trus saya harus ganti pake ‘Ibu’ gitu?  Jadi aneh dong.. “
“Rei, I thought we already had a deal?”
“Baiklah, demi nama kebenaran dan keadilan yang saya junjung tinggi, saya mengakui jawaban kamu benar.  Senin saya traktir kamu makan siang, tapi jangan di tempat yang mahal-mahal ya Eri..”
“Hahaha.. oke, saya janji ngga bakal bikin kamu bangkrut.  By the way, kamu lagi ngapain Rei?”
“Ngeladenin klien yang ngga habis-habis pertanyaannya.”
“Hahaha..kamu dari tadi bikin saya ketawa terus deh.”
“Kamu membuat saya terdengar seperti Nunung OVJ.”
“Eh, ide bagus tu, kamu ikutan audisi aja, cocok rasanya kamu jadi pelawak.”
“Pak Eri, seriously, don’t you have anything else to do?”
“Ngga, makanya saya iseng cari teman ngobrol, hehe..”
“Terus kenapa saya yang harus jadi korban?”
“Karena pasti kamu ngga akan tega mengacuhkan pertanyaan-pertanyaan saya.  Ya kan?”
“Rei”
“Rei”
“PING”
“PING”
“Yang punya hape udah tidur.”
“Hahaha.. Good night Rei, have a nice sleep.”
“Good night, Eri.”
Rasa kantukku menghilang entah kemana.

Kamis, 25 April 2013

Kode Etik Profesi


Caution: This article may sound too harsh for some people, if you find your emotion increase when reading this, please feel free to click the x button on the upright corner of your screen.

Perhatian:  Artikel ini mungkin akan terdengar menyinggung bagi sebagian orang, jika Anda merasakan emosi anda meningkat ketika membaca artikel ini, Anda bebas untuk menekan tombol x di pojok kanan atas layar Anda.


Di era serba terbuka sekarang ini, nilai-nilai luhur budaya ketimuran semakin meluntur dengan keterbukaan informasi dan perkembangan teknologi yang menyebabkan nilai-nilai budaya barat yang serba terbuka, dan lugas semakin adaptif di penduduk Indonesia.   Untuk beberapa kasus, sifat terbuka dan lugas memang dibutuhkan, namun untuk beberapa yang lainnya saya rasa tidak seharusnya diumbar.

Saya akan lebih spesifik.  Sebagai negara dengan penduduk pengguna Blackberry terbanyak di dunia, sosialisasi kita pun semakin “dipermudah” dengan status di Blackberry Messenger (BBM) dan profile picture yang kita pasang di BBM.  Dan yang lebih mengerikan, dengan teknologi screen grabber, kita bisa mengambil gambar yang muncul di layar dan memamerkannya pada dunia, termasuk chat kita dengan orang lain.

Saya memang termasuk tipe yang senang mengganti-ganti profile picture, dan saya tidak masalah dengan orang lain yang juga senang mengganti foto dan status tiap menit.  Tapi saya selalu merasa risih jika melihat foto dokumen-dokumen perusahaan.  Buat saya, silahkan kalian memasang dan mengumbar kehidupan pribadi, namun selama kalian bekerja di suatu tempat, bukankah tidak etis jika memperlihatkan dokumen-dokumen perusahaan yang notabene adalah rahasia, apalagi slip gaji. 

Etika profesi  buat saya tidak hanya dimiliki seseorang dengan profesi yang spesifik seperti dokter dan pengacara, bagi saya, pemulung pun memiliki kode etik: tidak mengambil barang yang bukan barang bekas.  Apapun yang kita kerjakan, apapun jabatan kita di dalam perusahaan, kita tetaplah terikat untuk menjaga profesionalisme dan kode etik profesi yang kita jalani.  Terus kalian mau bilang “sok loyal banget sih lo..kayak lo ga suka jelek-jelekin kantor lo atau bos lo?”  Terserah.  Yang pasti, kalaupun saya melakukan itu, saya tidak akan memasangnya di status dan foto BBM.

Mohon maaf jika ada pihak yang merasa dirugikan dan tersakiti dengan artikel ini.  Semoga beberapa tahun ke depan saat pola pikir kalian sudah semakin dewasa, kalian tidak merasa sakit hati lagi jika menemukan artikel ini kembali.


Salam damai. Peace, Love, and Gaul dengan orang-orang yang bener.

Senin, 22 April 2013

Fraction #2


Their First Meeting

Orang-orang ini terkadang memuakkan.  Tidak bisakah mereka jujur saja kalau mereka hanya ingin uang.  Untuk apa lagi mereka berpura-pura menjadi orang suci kalau ’UANG’ sudah tertulis jelas di kening mereka.  Mungkin begini risiko bekerja di bidang konstruksi.  Seolah-olah proyek yang kami kerjakan adalah lahan meraup uang sebanyak-banyaknya.  Dan lagi-lagi, sebagai anak buah yang tidak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa merutuk dalam hati.  Pagi-pagi sudah membuat orang kesal, rutukku.

”Rei, kamu ada janji meeting ya dengan orang dinas nanti jam 2 siang.  Mereka mau membahas anggaran yang kemarin kita buat.  Aku dengar ada orang dari kantor pusatnya juga yang mau datang, jangan lupa semua data-data yang kemarin aku sudah revisi, ada di atas meja ya.”  Noval, ah, harusnya Pak Noval atasanku mengingatkan tentang janji meetingku hari ini. 

”Aduh pak..kenapa harus saya sih yang menemui mereka, kan masih ada yang lain, saya sudah cukup bertemu klien hari ini.  Dari pagi tadi mereka sudah merusak mood saya Pak dengan permintaan mereka yang aneh-aneh.”  Ujarku sembari merengut.  Entah kenapa hari ini aku merasa malas bertemu orang lagi.  Walaupun itu memang tugasku, tapi rasanya orang-orang yang kutemui hari ini semua membuatku emosi dan merusak mood ku.  Mungkin juga karena aku masih lelah karena perjalananku ke luar kota kemarin.

”Ayolah Rei, yang lain sudah keluar dengan urusannya masing-masing.  Nah karena hari ini giliranmu yang jaga kandang, jadi kamu yang harus menemui mereka.  Karena saya juga ada janji dengan Pemda jam 2 nanti, oke?” Pak Noval berusaha membujukku yang masih merengut.

”Baiklah, tapi traktir aku makan siang dulu, gara-gara emosi aku jadi lapar berat.”  Aku menjawab sambil tersenyum lebar.

”Dasar kamu, yuk deh kita pergi, aku juga lapar.”  Pak Noval pun membereskan dokumennya dan kami berjalan keluar kantor untuk makan siang.

Pak Noval adalah Project Leader untuk proyek kali ini, sedangkan aku bertugas sebagai Project Secretary, sebenarnya usia kami hanya terpaut dua tahun, dan kami pun berasal dari kampus yang sama.  Hanya di kantor saja aku memanggilnya ”Pak”.  Untunglah kami berdua bisa bersifat profesional dan membedakan perilaku kami di dalam dan di luar kantor.  Di luar kantor, Noval adalah sahabatku.

”Jadi, gimana acara perjodohan kamu kemarin?”  Pertanyaan Noval membuatku tersedak makanan.

”Kok kamu tahu?”  Week-end kemarin memang aku pulang ke Jakarta karena mendadak diminta pulang oleh keluarga angkatku.  Dan ternyata mereka telah mengatur perjodohan dengan putra salah seorang teman ayah angkatku. 

”Ya tahu lah.  Kan Ibumu yang tanya ke aku tipe cowok kesukaanmu yang seperti apa.”  Noval berkata dengan memasang wajah tanpa dosa.

”Oh jadi kamu sekarang berkomplot dengan ibuku?” Tanyaku sambil melihatnya sinis.

”Hahaha..kan tidak ada salahnya Rei membantu demi kebaikanmu.  Lagian kamu sih kasih tipe yang abstrak.  A man with passion.  Gimana caranya nemuin orang kayak gitu?  Lebih mudah kalau kamu kasih tipe yang tampan dan gaji 8 digit.”  Noval kembali meledekku.

”Kalau sudah ditakdirkan bertemu, aku pasti bisa bertemu dengan orang yang seperti itu.  Yang dalam pertemuan pertama aku bisa langsung tahu bahwa dia adalah orang yang aku inginkan saat aku menatap ke dalam matanya.”  Jawabku serius.

”Yah terserah kamu saja Rei, asalkan kamu bahagia, walau kamu memilih yang aneh-aneh pun akan aku dukung.”  Noval berkata sambil menghabiskan makanannya.  ”Dan jangan lupa nanti berlaku manis dengan tamu dari dinas pusat ya.  Siapa tau dia orang yang kamu cari.”  Aku kembali teringat janji meeting ku setelah makan siang ini.

Sekembalinya dari makan siang, Noval langsung pergi untuk meeting dengan pihak lain di luar kantor, dan tinggallah aku dengan pekerjaanku beserta janji meeting satu jam lagi. 

Sudah sepuluh menit berlalu dari pukul dua siang, dan belum ada tanda-tanda tamuku datang.  Yah, sepertinya sudah rahasia umum kalau mereka tidak pernah tepat waktu.  Aku meraih ponselku untuk menelpon Pak Dimas, orang yang seharusnya sudah tiba di sini sepuluh menit yang lalu.  Dan aku menoleh ke pintu masuk saat mendengar dering telepon yang asing.

”Rei, maaf telat sedikit.”  Pak Dimas ternyata sudah muncul di belakangku sambil tertawa mengangkat handphone-nya yang berdering dan menampilkan namaku di layarnya.

”Ah, iya tidak apa-apa Pak, baru saja saya mau tanya sudah sampai di mana.  Silakan duduk pak.”  Ujarku sambil menuntunnya ke kursi tamu, saat kusadari ia tidak sendiri.

”Oya Rei, kenalkan dulu, ini temanku dari kantor pusat, dia yang akan mengawasi proyek ini, dan karena aku akan cuti menikah seminggu, jadi kamu akan berurusan dengannya dalam seminggu kedepan.”

Aku mengangkat tanganku untuk berkenalan, dan orang itu pun melakukan hal yang sama.

”Eri.” 

Aku terpaku sesaat.

”Rei.”  sahutku.

”Eri-Rei, bahkan nama kalian senada, jadi pasti kalian bisa bekerja sama dengan baik.”  Pak Dimas bergantian menunjuk kami sambil tersenyum.

Meeting kami sudah berakhir dua jam yang lalu.  Tapi aku masih tertegun dan mengingat setiap detailnya.  Ah, seharusnya kukatakan setiap detail gerakan dan kata-katanya.  Mengingat dengan jelas apa yang kulihat pertama kali di dalam matanya.  Passion.





Fragment #2


Their First Meeting

Balikpapan, Mei 2002

Panas matahari dan hembusan angin dari laut menyambutku yang baru saja tiba di kota ini.  Masalah pekerjaan memang tidak ada habisnya.  Rencanaku mengambil cuti seminggu bulan ini pun terpaksa kubatalkan karena ada masalah mendadak di perwakilan kami di kota ini.  Walaupun awalnya aku enggan pergi, namun begitu temanku, Dimas, yang bertugas disini menelpon dan menyampaikan rencananya untuk menikah, aku pun mengiyakan.  Kupikir tidak ada salahnya mengundur rencana cutiku untuk membereskan masalah disini, sekaligus untuk menghadiri acara Dimas.

Pekerjaanku di salah satu departemen pemerintahan memang terkadang mengharuskanku melakukan perjalanan dinas keluar kota untuk berkoordinasi dengan kantor perwakilan departemen kami di daerah.  Apalagi jika sedang ada proyek pembangunan seperti ini.  Salah satu pertimbangan atasanku untuk mengirimkanku menjadi pengawas pasti karena aku sudah pernah tinggal di kota ini.  Ya, aku memang tinggal di kota ini sampai tahun lalu.  Setelah melewati masa pra jabatan aku memang langsung ditugaskan di kota ini, dan tiga tahun kemudian aku di mutasi ke ibukota. 

Tiga tahun di kota ini tentu saja membuatku tidak kekurangan teman.  Dimas adalah sahabat baikku selama aku di kota ini.  Kami sama-sama memulai karir sebagai teman seangkatan, hanya saja Dimas belum mendapat kesempatan untuk mutasi.  Tapi rasanya itu bukan masalah besar baginya, buktinya, Dimas menemukan jodohnya di kota ini. 

“Datanglah Eri, kalau kamu sampai tidak datang ke acaraku, aku obrak-abrik rumahmu nanti, hahaha..” Dimas meneleponku dua minggu lalu saat menyampaikan undangannya.

 “Kamu ini Dimas, itu sih bukan mengundang, tapi memaksa, hahaha..tapi rasanya aku memang terpaksa harus datang ke acaramu, aku ditugaskan untuk berkoordinasi dengan kontraktor yang akan membangun jembatan penghubung kota dengan kabupaten” sahutku.

 “Oh jadi kamu yang akhirnya ditugaskan mengawasi, baguslah, berarti kamu harus berbaik-baik denganku Eri, karena aku yang bertanggung jawab di bagian itu”  jawab Dimas.

 “Wah, berarti aku benar-benar sangat amat terpaksa harus datang kesana, ya sudah, jemput aku di bandara ya, pesawatku Minggu depan mendarat jam lima sore di Balikpapan”.  Dimas pun mengiyakan permintaanku dan berjanji menjemputku di bandara.

Aku sudah berdiri di tempat taksi berjejer dengan rapi menunggu penumpang sambil menikmati hembusan angin laut saat telepon genggamku berbunyi. 

“Ya Dimas, dimana kamu? Aku sudah diluar nih”. 

“Aku masih parkir nih, tunggu sebentar ya” jawab Dimas.

Aku menutup telepon dan berdiri menyandarkan tubuhku di tiang kayu.  Bandara ini memang didekorasi dengan ukiran-ukiran kayu khas suku Dayak, tiang-tiang kayu besar dengan ukiran-ukiran indah menjadi ciri khas yang membedakannya dengan bandara lain.  Untunglah hari ini tidak begitu ramai, jadi aku bisa menunggu dengan tenang.

“I could stay awake, just to hear you breathing… watch you smile while you’re sleeping, while you’re far away and dreaming… “  

Aku terkejut mendengar senandung perlahan dari sebelah kiriku.  Rupanya seorang gadis yang juga berdiri bersandar di tiang yang sama denganku.  Sepertinya dia tidak sadar kalau senandungnya bisa kudengar.  Gadis yang menarik, pikirku.  Dengan rambut ikal sebahu yang dibiarkan tergerai di bawah topi kupluknya, sebagian poninya menutupi sebelah matanya yang seolah-olah sedang memandang seseorang di hadapannya.  Rupanya dia sedang mendengarkan musik, aku bisa melihat music player-nya yang terselip di dalam kantung cardigan oranye nya.  Oranye, pilihan warna yang tidak biasa.  Ransel, celana jeans, dan sepatu kets, mungkin dia anak pegawai perusahaan minyak yang kuliah di Jawa dan menghabiskan liburan semester kembali ke rumah, tipikal kebanyakan anak muda di kota ini.

“I could spend my life in this sweet surrender, I could stay lost in this moment forever…”

aku mengenali lagu I Don’t Wanna Miss a Thing dari Aerosmith yang disenandungkannya.  Suara yang lembut. 

“Eri, maaf membuatmu lama menunggu, aku tidak dapat tempat di dekat sini, jadi agak jauh parkirnya”  suara Dimas membuatku mengalihkan pandangan dari gadis itu.

“Ah, alasan kamu Dimas, bilang saja kamu memang telat berangkat kesini” ujarku sambil memeluk sobatku itu.

“Hahaha..separuhnya betul sih, apa kabar kamu?” tanya Dimas. 

“Baik, seperti yang kau lihat, yuk kita berangkat.” Dimas mengambil koper kecil yang kubawa dan menunjukkan arah ke mobilnya.  Aku menoleh sekilas dan tidak kudapati lagi gadis itu disebelahku.

 “Jadi, gimana persiapan pernikahanmu Dim?”

“Yah, ternyata tidak sesederhana yang kubayangkan.  Aku hanya membayangkan kami berdua dengan keluarga masing-masing di depan penghulu, bawa mas kawin, beres.  Ternyata banyak sekali yang harus disiapkan.  Baju, cincin, seserahan, resepsi, kemauan orang tua, kemauan calon mertua, sampai ingin kubawa lari saja calonku supaya tidak repot, hahaha..” Aku ikut tertawa mendengar jawaban dari Dimas. 

“Lalu, kapan kamu cuti? Kok calon pengantin masih sibuk mengurus pekerjaan?” tanyaku.

“Pastinya setelah aku menyerahkan semua pekerjaanku ke kamu Eri” jawabnya sambil tersenyum lebar.

Kami pun sampai di mess departemen yang menjadi tempat tinggal sementara bagi kami yang berasal dari luar kota.

“Kamu yakin mau di mess? Padahal kalau kamu mau di hotel pun tidak apa-apa kan?” tanya Dimas.

“Tidak apa-apa, aku lebih suka disini.” Jawabku.  Mess ini terletak di pinggir laut, alasan utama aku sangat menyukainya.

“Baiklah kalau itu maumu.  Istirahatlah, besok pagi aku kenalkan kamu ke kontraktor yang kerja sama dengan kita.” 

Setelah Dimas pulang aku masuk ke kamar yang telah disediakan.  Ah, kamar ini masih seperti dulu.  Aku membuka jendelanya yang menghadap ke laut.  Semilir angin laut pun membelai wajahku, dan entah dari mana terngiang sebuah lagu di telingaku saat aku memejamkan mata.

“I could stay lost in this moment, forever...”


Kamis, 18 April 2013

Fraction #1



“Rei”

“Hmm..” aku menoleh dari layar televisi saat mendengar Eri memanggilku.

“Kamu ngga pingin seperti di film-film kesukaan kamu itu?” Eri bertanya sambil menatapku serius.

“Apa sih Eriiii..yang jelas dong pertanyaannya..” Aku menjawab sambil mencubit lengannya yang tidak lepas memeluk bantal sofa.

“Maksudku, kamu ngga pingin seperti wanita normal lainnya? Sudah cukup umur, pekerjaan mapan, cantik, pintar, yah yang jelas kamu ngga malu-maluin lah kalau diajak ke resepsi pernikahan.. aduh..aduh..Rei..ahahaha..”

Aku tidak membiarkan Eri menyelesaikan kalimatnya, bertubi-tubi aku memukulnya dengan bantal sofa yang semula aku peluk.

”Reiii..ahahaha..sudah dong..”

”Habisnya kamu kok seperti menghina begitu sih kalimatnya?”Aku menjawab sambil merengut.

”Loh bagian mana yang menghina sih? Aku kan justru memuji.” Rei membela diri masih sambil tertawa terengah-engah.

”Memangnya kamu pikir kalimat ’yah paling ngga kamu ngga malu-maluin diajak ke resepsi pernikahan’ itu bukan menghina namanya? Nada suara kamu itu lho yang nyebelin.” Jawabku sambil menirukan gaya bicaranya.

”Kamu ngga pingin cari laki-laki yang baik untuk jadi suami kamu?” Tanya Eri dengan nada dan raut wajah serius, kali ini aku tahu dia tidak sedang meneruskan candaannya.

Aku menghela napas panjang dan kembali bersandar di sofa sambil memeluk bantal.

”Kirain mau nanya apaaaa gitu.. padahal tadi adegan filmnya lagi seru.”

Eri tiba-tiba mengambil remote televisi di depan meja dan menekan tombol “Pause”. 

Oke, this will gonna be another long conversation.

“Jadi begini ya Eri, stereotype siklus hidup manusia normal itu adalah lahir – tumbuh besar – sekolah wajib 9 tahun – kuliah – cari kerja – cari pacar – menikah – beli rumah minimalis di perumahan pinggir kota – beli mobil MPV – punya anak – punya cucu – pensiun – menunggu kematian.  Masalahnya, waktu yang dibutuhkan masing-masing manusia untuk melewati fase masing-masing kan tidak sama.  Nah, anggap aja aku sedang berada di fase cari pacar itu, but maybe it just take longer than others, jelas kan?” tegasku.

“Apa kamu sungguh-sungguh mencari? Untuk ukuran orang yang mencari pendamping hidup kamu terlihat seperti tidak melakukan apa-apa?” Eri mencecarku dengan pertanyaan.

“Lalu, kalau aku harus ribut kesana kemari, apa kabar pepatah ‘kalau jodoh tak lari kemana’?” balasku.

“Itu berlaku di era orde lama Rei, bahkan millennium pun sudah berlalu lebih dari 10 tahun yang lalu dan kamu masih berpegang pada pepatah itu?”  Eri tersenyum mengejekku.

“Lalu, kamu menyuruhku jadi perempuan yang kamu sebut ‘kelebihan hormon’ itu?”  Aku bertanya sambil memasang wajah merengut andalanku setiap kali berdebat dengannya.

“Memangnya kriteria idaman kamu tuh seperti apa sih?”  tanya Eri sambil mencubit pipiku.

“Aku ngga tau.  Tidak punya kriteria khusus juga.  Aku akan tahu apakah aku ingin menghabiskan sisa hidupku dengan orang itu atau tidak saat aku bertemu dengannya.”  Jawabku.

“Terus, kamu sudah pernah bertemu orang seperti itu?”

Aku hanya bisa menatap wajah Eri.

“Mungkin  masalahnya ada di hati kamu.  Apakah kamu mau membukanya untuk orang lain atau tidak, dan selama aku mengenalmu, kamu selalu bersikap dingin dan membentengi diri terhadap laki-laki yang berusaha mengenalmu lebih jauh, padahal mereka jelas-jelas berusaha mendekati kamu.  Just give them a chance, maybe one of them is destined to be with you” dan Eri pun menekan tombol ‘Play’ melanjutkan film kami yang tertunda.

Aku hanya bisa terdiam, merenungi kata-kata yang baru saja Eri ucapkan.  Sudah Eri, aku sudah bertemu orang itu.  Dan setiap hari aku merasa berdosa karena mengharapkan takdir berbelok dan menjadikan orang itu ‘the one that destined to be with me’ seperti katamu.  Setiap hari aku merasa bersalah karena berharap waktu terulang dan mempertemukan aku dengan orang itu beberapa tahun lebih awal.  Setiap hari aku merasa menjadi manusia paling keji, karena selalu berkata dalam hati

“Tidak bisakah orang itu kamu, Eri?”

Rabu, 17 April 2013

Fragment #1




Sore yang cerah di pinggir pantai.  Dua jam lagi matahari akan terbenam.  Dan pasti itulah yang dinantikan sebagian besar pengunjung pantai ini.  Pasangan-pasangan dari beragam usia pun bermunculan.  Ah, malam ini malam minggu ya, pantas.  Laut yang terhampar sejauh mata memandang dan langit yang menyatu di ujung horison memang tidak pernah bosan untuk dikunjungi.  Aku memang menyukai laut.  Suka sekali.  Aku senang berlama-lama di pantai atau mengikuti pelayaran-pelayaran ke laut dalam untuk memancing.  Untungnya pekerjaanku memberikan akses untuk melakukan itu.  Memandang laut dan mendengarkan suara ombak sangat menenangkan.  Bagai hipnoterapi yang bisa kaunikmati tanpa harus tertidur dan khawatir melakukan hal-hal yang memalukan.

Dan disinilah aku berada.  Di tepi laut, dua jam menjelang matahari terbenam.  Bersama dengan makhluk unik yang satu ini, Rei.

”Kamu pernah membayangkan ngga Eri, gimana kalau tiba-tiba kamu terbangun pagi hari, dan ternyata kamu sudah ngga ada di tempat tidurmu?  Terus kamu bisa melihat tubuhmu sendiri di bawah kakimu?
Atau kamu pernah ngga membayangkan kalau kamu lagi jalan sambil ngobrol, terus tahu-tahu percakapanmu terhenti dan kamu melihat lawan bicaramu berteriak panik sambil mengguncang-guncangkan tubuhmu?” Rei bertanya sambil menatap mataku lurus.

”Kenapa sih kamu nanya begitu?  Kamu ngga berniat bunuh diri kan Rei?  Aku ngga mau sampai diinterogasi polisi karena jadi orang terakhir yang kamu temui hari ini.”  Aku bertanya sambil tertawa.

”Hahaha..  Aku paling anti sama bunuh diri tau.  Aku nanya serius.”

”Terus, kenapa kamu nanya begitu?”  Aku mengulang pertanyaanku.

”Aku cuma tiba-tiba kepikiran.  Aku hanya membayangkan bagaimana seandainya kalau itu terjadi padaku.  Apakah nanti orang-orang yang mengenalku akan menangis, atau justru senang.  Apa yang akan mereka katakan tentang diriku selagi aku masih hidup.  Apa yang akan mereka tulis di facebook-ku.  Apakah mereka akan mengunjungi makamku dan membawakan bunga. Apa mereka nanti akan mendoakanku.  Apa yang akan aku lakukan ketika mereka melanjutkan hidup.”  Rei berkata sambil memandangi lautan.  ”Aku takut.”  bisiknya lirih.

Kadang aku takjub dengan isi pikiran Rei.  Aku selalu mengagumi kekuatannya.  Kegigihannya dalam melakukan apa pun.  Kemampuannya yang selalu terlihat di atas rata-rata.  Semua orang akan berkata Rei adalah seorang yang pandai dan menyenangkan.  Tetapi terkadang aku merasa Rei terlalu memaksakan diri.  Seperti gadis kecil yang terjebak dalam tubuh seorang wanita.  Seperti cerita Alice in Wonderland yang pernah kubaca.

”Aku tidak tahu, Rei.  Aku juga tidak ingin mencari tahu.  Bukankah kita diberikan kesempatan hidup untuk menjalani kehidupan ini sebaik-baiknya.  Untuk merasakan setiap momen yang datang dan belajar dari setiap kesalahan dan kepedihan.  Tidak usah dipikirkan kemana jiwa kita akan pergi nanti.  Sekarang, dan disini, itulah hidup sebenarnya.  Karena kita tidak tahu detik berikutnya  akan jadi apa.  Kita juga tidak tahu detik yang lewat barusan adalah nyata atau hanya ilusi optik.  Sekarang, dan disini.  Kita yang terjebak dalam kumparan waktu yang sama inilah yang benar-benar nyata.”  Rei menatapku dengan mata sayu-nya.  ”Dan aku janji, kalau aku hidup lebih lama, aku akan rajin berkunjung ke makam kamu sambil bawa bunga dan CD-CD lagu terbaru, hahaha..”  Aku menggodanya sambil mengacak-ngacak rambutnya lembut.

”Eriii..kok bawa CD siih?? ”  Rungutnya sambil berusaha memukulku.

”Hahaha..supaya kamu ngga kesepian kan.”  Rei pun tersenyum.  Aku menyukai wajahnya yang selalu penuh ekspresi.  Rei, tak sadarkah kamu kalau memandangmu seperti melihat matahari terbenam, indah dan hangat.

”Kamu tahu Eri, apa yang paling aku takutkan bukanlah kematian, aku lebih takut kehilangan kendali atas pikiranku, aku takut kehilangan semua endapan memori yang ada dalam kepalaku.  Termasuk memori hari ini.”  Rei berkata serius.

Dan aku kehilangan kata-kata.

Selasa, 26 Maret 2013

11 tahun yang lalu.. 11 tahun kemudian..



11 tahun yang lalu

Kami bertemu di SMUN 1 Depok (SMUNSA) untuk pertama kalinya.  Mengawali hari-hari kami di kelas 1.1 dengan rangkaian acara MOPD (Masa Orientasi Peserta Didik) yang sudah terkenal dengan kekejaman dan senioritas, which is di SMUNSA, jauh dari kekerasan karena kami cinta damai v(^^), namun tetap menguras tenaga dan pikiran karena kelakuan kakak-kakak kelas yang aneh-aneh.  Dan yang paling saya ingat adalah kata-kata yang dengan tegas disampaikan oleh kakak PJK (Penanggung Jawab Kelas), saat itu Kak Luthfi dan Kak Ayu, bahwa kelas 1.1 adalah kelas terkutuk!  Bayangkan bagaimana perasaan kami saat itu yang tidak tahu apa-apa dan ternyata kami berada di kelas terkutuk.  Semua cerita-cerita buruk diturunkan, dan ada saja kesalahan yang kami buat sehingga kami harus dihukum lebih lama di lapangan, sementara kelas lain sudah mulai makan.  Sampai pada kutukan yang ternyata benar-benar terjadi saat itu: Kak Luthfi adu jotos dengan senior lain karena membela kami dan kemudian dipanggil kepala sekolah dengan ancaman akan dikeluarkan.  Kemudian kami semua pun dipanggil ke lapangan karena ada orang tua murid yang mengancam akan melaporkan proses MOPD karena dinilai sudah melewati batas.  Tenang saja, semua tentunya hanya rekayasa.  Kak Luthfi, cerita kelas terkutuk, senior lain, dan orang tua itu sudah termasuk dalam skenario bersama.  Oh ya, bagian yang tidak terlupa, penutupan MOPD kami adalah dengan disiram air danau (kalau tidak mau dibilang empang) Lio yang hijau dan berbau.

Selesai MOPD, kami berlima yang mulai akrab pun semakin akrab karena disatukan oleh sesuatu yang akan kami kenang selalu:  Rampak Kendang.  Ekskul yang mungkin terdengar aneh.  Rampak kendang sendiri adalah kesenian dari Jawa Barat, dimana gamelan dan gendang menghasilkan pertunjukan yang menarik.  And it really was interesting.  Saya dan Dyan pun menjadi pemain gendang, sementara Ika, Ine, dan Vha2 lebih memilih bermain gamelan.  Hari-hari latihan pun menjadi hari yang paling kami tunggu karena kami bisa melampiaskan stress dari PR atau tugas-tugas lainnya dengan memukul-mukul sesuatu namun hasilnya suara yang indah.  Dan di masa-masa kejayaan kami (ehm..) kami sering diundang untuk mengisi acara-acara di dalam dan di luar sekolah.  Mengenal siswa sekolah lain, mengenal kebudayaan Indonesia, mengenal seniman-seniman yang asli nyeni, bahkan saya sampai berniat melanjutkan kuliah di IKJ (gagal karena alasan ekonomis, hehe..)

Sayangnya kelas 2 kami berpisah, namun di kelas 3, saya sekelas lagi dengan Ika dan Ine di SOS 1, sementara Dyan dan Vha2 di kelas IPA.  Sampai menjelang lulus pun kami masih berteman akrab namun mulai sibuk dengan persiapan ujian masing-masing.  Kemudian kami pun menempuh jalan yang berbeda, kampus yang berbeda, kehidupan yang berbeda.  Rasanya kami sempat lost contact beberapa saat, terutama dengan Dyan, karena 4 yang lain masih dalam satu area kampus jadi sesekali masih bertemu.  Kalau tidak salah sekitar 4-5 tahun kebelakang, apalagi saya waktu itu bekerja di Balikpapan.  It was unbelievable.  Sampai akhirnya kami mulai bertemu lagi kira-kira 2 tahun lalu.  Mulai dari buka puasa bersama, sampai event pertama kami bertemu dengan personil lengkap:  Pernikahan Ika.


11 tahun kemudian

Akhirnya, tanpa kami sadari minggu lalu, 11 tahun kemudian kami masih diberi kesempatan untuk bertemu kembali.  Kali ini dengan tambahan dede Husna, putri dari Ika, our first niece.  Dan kami lagi-lagi bertemu di acara pernikahan.  Namun kali ini yang menikah adalah Boti, yang sama-sama berada di kelas 1.1, dan sama-sama menjadi anggota Rampak kendang.  Dan perjalanan nostalgia 11 tahun itu pun terangkum dalam bincang-bincang yang berlangsung berjam-jam dan foto-foto kami setelah acara Boti selesai.

And you know what, the best thing when you meet your old friend is, to know that they never change.  Their kindness, their thought, their laugh, and their pure heart.