Come in with the Rain

Senin, 29 April 2013

Fraction #3


The messages

“Rei, aku sudah selesai memeriksa dokumen yang kamu berikan.  Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan.”
“Oke pak, Senin aja saya ke kantor Bapak.”
“Kamu segitu ngga ingin diganggunya ya kalau untuk urusan kantor di luar jam kerja?”
“Mmm..ini yang namanya hidup berkualitas Pak :p “
“Tapi bener-bener ngga bisa diganggu walaupun urusan darurat ya?”
“Case by case sih Pak, dan untuk kasus Bapak sepertinya memang harus menunggu Senin, karena dokumennya saya tinggal di kantor.”
“Kenapa sih harus panggil saya ‘Bapak’ ? Rasanya umur kita ngga jauh beda.. Umur kamu berapa sih?”
“A secret makes a woman ‘woman’ Pak :D “
“Hee..kamu baca Detective Conan juga?”
“Oooh Bapak juga baca ya?  Kalau begitu bisa tebak umur saya dong.. :p “
“Kalau sekali tebak langsung benar kamu traktir saya makan siang ya?”
“Kalau saya bohong juga kan Bapak ngga tau selama belum liat KTP saya”
“Kamu bukan tipe orang yang bisa bohong, langsung ketahuan di muka.  Sama ketahuannya waktu kamu sebel banget saya coret-coret dokumen kamu kemarin”
“Kalau tahu kok ya masih diterusin..”
“Pertama, karena memang harus dikoreksi, dan lebih cepat kalau saya coret langsung kan?  Kedua, karena muka kamu yang cemberut sambil manyun itu bikin saya ngga tahan untuk ngerjain kamu, hahaha..”
“Oh, oke..saya tiba-tiba jadi ngantuk, Bapak ngga ada kerjaan lain kah?”
“Hahaha..hei, kita belum selesai, kalau sekali tebak umur kamu saya langsung benar, saya ditraktir makan siang, dan kamu harus berhenti panggil saya ‘Bapak’.  Oke? “
“Kalau salah?”
“Saya traktir kamu makan siang seminggu penuh, gimana?”
“Modus lama itu Pak, enak di Bapak dong..”
“Hahaha..are you always this cold?”
“Like I said before, it was case by case.”
“So, I guess I’m a special case?”
“Kalau salah, Bapak bisa langsung kerjain kerjaan Bapak yang lain, dan saya juga melakukan hal yang lain ya?”
“Ooow..itu mengusir secara halus ya? :D “
“Oke, let’s begin with your single answer.  Think about it carefully, you only have one chance.”
“24”
I drop my phone in surprise.
“Rei, bener ngga?”
“How do you know?”
“Just a feeling.  But m y feeling is usually right.  Isn’t it?”
“Baiklah, demi nama kebenaran dan keadilan yang saya junjung tinggi, saya mengakui jawaban Bapak benar.  Senin saya traktir Bapak makan siang, tapi jangan di tempat yang mahal-mahal ya Pak.”
“Hahaha.. ulang lagi dong kalimatnya, tapi dengan persyaratan yang kedua: jangan pake ‘Bapak’.”
“Trus saya harus ganti pake ‘Ibu’ gitu?  Jadi aneh dong.. “
“Rei, I thought we already had a deal?”
“Baiklah, demi nama kebenaran dan keadilan yang saya junjung tinggi, saya mengakui jawaban kamu benar.  Senin saya traktir kamu makan siang, tapi jangan di tempat yang mahal-mahal ya Eri..”
“Hahaha.. oke, saya janji ngga bakal bikin kamu bangkrut.  By the way, kamu lagi ngapain Rei?”
“Ngeladenin klien yang ngga habis-habis pertanyaannya.”
“Hahaha..kamu dari tadi bikin saya ketawa terus deh.”
“Kamu membuat saya terdengar seperti Nunung OVJ.”
“Eh, ide bagus tu, kamu ikutan audisi aja, cocok rasanya kamu jadi pelawak.”
“Pak Eri, seriously, don’t you have anything else to do?”
“Ngga, makanya saya iseng cari teman ngobrol, hehe..”
“Terus kenapa saya yang harus jadi korban?”
“Karena pasti kamu ngga akan tega mengacuhkan pertanyaan-pertanyaan saya.  Ya kan?”
“Rei”
“Rei”
“PING”
“PING”
“Yang punya hape udah tidur.”
“Hahaha.. Good night Rei, have a nice sleep.”
“Good night, Eri.”
Rasa kantukku menghilang entah kemana.

Kamis, 25 April 2013

Kode Etik Profesi


Caution: This article may sound too harsh for some people, if you find your emotion increase when reading this, please feel free to click the x button on the upright corner of your screen.

Perhatian:  Artikel ini mungkin akan terdengar menyinggung bagi sebagian orang, jika Anda merasakan emosi anda meningkat ketika membaca artikel ini, Anda bebas untuk menekan tombol x di pojok kanan atas layar Anda.


Di era serba terbuka sekarang ini, nilai-nilai luhur budaya ketimuran semakin meluntur dengan keterbukaan informasi dan perkembangan teknologi yang menyebabkan nilai-nilai budaya barat yang serba terbuka, dan lugas semakin adaptif di penduduk Indonesia.   Untuk beberapa kasus, sifat terbuka dan lugas memang dibutuhkan, namun untuk beberapa yang lainnya saya rasa tidak seharusnya diumbar.

Saya akan lebih spesifik.  Sebagai negara dengan penduduk pengguna Blackberry terbanyak di dunia, sosialisasi kita pun semakin “dipermudah” dengan status di Blackberry Messenger (BBM) dan profile picture yang kita pasang di BBM.  Dan yang lebih mengerikan, dengan teknologi screen grabber, kita bisa mengambil gambar yang muncul di layar dan memamerkannya pada dunia, termasuk chat kita dengan orang lain.

Saya memang termasuk tipe yang senang mengganti-ganti profile picture, dan saya tidak masalah dengan orang lain yang juga senang mengganti foto dan status tiap menit.  Tapi saya selalu merasa risih jika melihat foto dokumen-dokumen perusahaan.  Buat saya, silahkan kalian memasang dan mengumbar kehidupan pribadi, namun selama kalian bekerja di suatu tempat, bukankah tidak etis jika memperlihatkan dokumen-dokumen perusahaan yang notabene adalah rahasia, apalagi slip gaji. 

Etika profesi  buat saya tidak hanya dimiliki seseorang dengan profesi yang spesifik seperti dokter dan pengacara, bagi saya, pemulung pun memiliki kode etik: tidak mengambil barang yang bukan barang bekas.  Apapun yang kita kerjakan, apapun jabatan kita di dalam perusahaan, kita tetaplah terikat untuk menjaga profesionalisme dan kode etik profesi yang kita jalani.  Terus kalian mau bilang “sok loyal banget sih lo..kayak lo ga suka jelek-jelekin kantor lo atau bos lo?”  Terserah.  Yang pasti, kalaupun saya melakukan itu, saya tidak akan memasangnya di status dan foto BBM.

Mohon maaf jika ada pihak yang merasa dirugikan dan tersakiti dengan artikel ini.  Semoga beberapa tahun ke depan saat pola pikir kalian sudah semakin dewasa, kalian tidak merasa sakit hati lagi jika menemukan artikel ini kembali.


Salam damai. Peace, Love, and Gaul dengan orang-orang yang bener.

Senin, 22 April 2013

Fraction #2


Their First Meeting

Orang-orang ini terkadang memuakkan.  Tidak bisakah mereka jujur saja kalau mereka hanya ingin uang.  Untuk apa lagi mereka berpura-pura menjadi orang suci kalau ’UANG’ sudah tertulis jelas di kening mereka.  Mungkin begini risiko bekerja di bidang konstruksi.  Seolah-olah proyek yang kami kerjakan adalah lahan meraup uang sebanyak-banyaknya.  Dan lagi-lagi, sebagai anak buah yang tidak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa merutuk dalam hati.  Pagi-pagi sudah membuat orang kesal, rutukku.

”Rei, kamu ada janji meeting ya dengan orang dinas nanti jam 2 siang.  Mereka mau membahas anggaran yang kemarin kita buat.  Aku dengar ada orang dari kantor pusatnya juga yang mau datang, jangan lupa semua data-data yang kemarin aku sudah revisi, ada di atas meja ya.”  Noval, ah, harusnya Pak Noval atasanku mengingatkan tentang janji meetingku hari ini. 

”Aduh pak..kenapa harus saya sih yang menemui mereka, kan masih ada yang lain, saya sudah cukup bertemu klien hari ini.  Dari pagi tadi mereka sudah merusak mood saya Pak dengan permintaan mereka yang aneh-aneh.”  Ujarku sembari merengut.  Entah kenapa hari ini aku merasa malas bertemu orang lagi.  Walaupun itu memang tugasku, tapi rasanya orang-orang yang kutemui hari ini semua membuatku emosi dan merusak mood ku.  Mungkin juga karena aku masih lelah karena perjalananku ke luar kota kemarin.

”Ayolah Rei, yang lain sudah keluar dengan urusannya masing-masing.  Nah karena hari ini giliranmu yang jaga kandang, jadi kamu yang harus menemui mereka.  Karena saya juga ada janji dengan Pemda jam 2 nanti, oke?” Pak Noval berusaha membujukku yang masih merengut.

”Baiklah, tapi traktir aku makan siang dulu, gara-gara emosi aku jadi lapar berat.”  Aku menjawab sambil tersenyum lebar.

”Dasar kamu, yuk deh kita pergi, aku juga lapar.”  Pak Noval pun membereskan dokumennya dan kami berjalan keluar kantor untuk makan siang.

Pak Noval adalah Project Leader untuk proyek kali ini, sedangkan aku bertugas sebagai Project Secretary, sebenarnya usia kami hanya terpaut dua tahun, dan kami pun berasal dari kampus yang sama.  Hanya di kantor saja aku memanggilnya ”Pak”.  Untunglah kami berdua bisa bersifat profesional dan membedakan perilaku kami di dalam dan di luar kantor.  Di luar kantor, Noval adalah sahabatku.

”Jadi, gimana acara perjodohan kamu kemarin?”  Pertanyaan Noval membuatku tersedak makanan.

”Kok kamu tahu?”  Week-end kemarin memang aku pulang ke Jakarta karena mendadak diminta pulang oleh keluarga angkatku.  Dan ternyata mereka telah mengatur perjodohan dengan putra salah seorang teman ayah angkatku. 

”Ya tahu lah.  Kan Ibumu yang tanya ke aku tipe cowok kesukaanmu yang seperti apa.”  Noval berkata dengan memasang wajah tanpa dosa.

”Oh jadi kamu sekarang berkomplot dengan ibuku?” Tanyaku sambil melihatnya sinis.

”Hahaha..kan tidak ada salahnya Rei membantu demi kebaikanmu.  Lagian kamu sih kasih tipe yang abstrak.  A man with passion.  Gimana caranya nemuin orang kayak gitu?  Lebih mudah kalau kamu kasih tipe yang tampan dan gaji 8 digit.”  Noval kembali meledekku.

”Kalau sudah ditakdirkan bertemu, aku pasti bisa bertemu dengan orang yang seperti itu.  Yang dalam pertemuan pertama aku bisa langsung tahu bahwa dia adalah orang yang aku inginkan saat aku menatap ke dalam matanya.”  Jawabku serius.

”Yah terserah kamu saja Rei, asalkan kamu bahagia, walau kamu memilih yang aneh-aneh pun akan aku dukung.”  Noval berkata sambil menghabiskan makanannya.  ”Dan jangan lupa nanti berlaku manis dengan tamu dari dinas pusat ya.  Siapa tau dia orang yang kamu cari.”  Aku kembali teringat janji meeting ku setelah makan siang ini.

Sekembalinya dari makan siang, Noval langsung pergi untuk meeting dengan pihak lain di luar kantor, dan tinggallah aku dengan pekerjaanku beserta janji meeting satu jam lagi. 

Sudah sepuluh menit berlalu dari pukul dua siang, dan belum ada tanda-tanda tamuku datang.  Yah, sepertinya sudah rahasia umum kalau mereka tidak pernah tepat waktu.  Aku meraih ponselku untuk menelpon Pak Dimas, orang yang seharusnya sudah tiba di sini sepuluh menit yang lalu.  Dan aku menoleh ke pintu masuk saat mendengar dering telepon yang asing.

”Rei, maaf telat sedikit.”  Pak Dimas ternyata sudah muncul di belakangku sambil tertawa mengangkat handphone-nya yang berdering dan menampilkan namaku di layarnya.

”Ah, iya tidak apa-apa Pak, baru saja saya mau tanya sudah sampai di mana.  Silakan duduk pak.”  Ujarku sambil menuntunnya ke kursi tamu, saat kusadari ia tidak sendiri.

”Oya Rei, kenalkan dulu, ini temanku dari kantor pusat, dia yang akan mengawasi proyek ini, dan karena aku akan cuti menikah seminggu, jadi kamu akan berurusan dengannya dalam seminggu kedepan.”

Aku mengangkat tanganku untuk berkenalan, dan orang itu pun melakukan hal yang sama.

”Eri.” 

Aku terpaku sesaat.

”Rei.”  sahutku.

”Eri-Rei, bahkan nama kalian senada, jadi pasti kalian bisa bekerja sama dengan baik.”  Pak Dimas bergantian menunjuk kami sambil tersenyum.

Meeting kami sudah berakhir dua jam yang lalu.  Tapi aku masih tertegun dan mengingat setiap detailnya.  Ah, seharusnya kukatakan setiap detail gerakan dan kata-katanya.  Mengingat dengan jelas apa yang kulihat pertama kali di dalam matanya.  Passion.





Fragment #2


Their First Meeting

Balikpapan, Mei 2002

Panas matahari dan hembusan angin dari laut menyambutku yang baru saja tiba di kota ini.  Masalah pekerjaan memang tidak ada habisnya.  Rencanaku mengambil cuti seminggu bulan ini pun terpaksa kubatalkan karena ada masalah mendadak di perwakilan kami di kota ini.  Walaupun awalnya aku enggan pergi, namun begitu temanku, Dimas, yang bertugas disini menelpon dan menyampaikan rencananya untuk menikah, aku pun mengiyakan.  Kupikir tidak ada salahnya mengundur rencana cutiku untuk membereskan masalah disini, sekaligus untuk menghadiri acara Dimas.

Pekerjaanku di salah satu departemen pemerintahan memang terkadang mengharuskanku melakukan perjalanan dinas keluar kota untuk berkoordinasi dengan kantor perwakilan departemen kami di daerah.  Apalagi jika sedang ada proyek pembangunan seperti ini.  Salah satu pertimbangan atasanku untuk mengirimkanku menjadi pengawas pasti karena aku sudah pernah tinggal di kota ini.  Ya, aku memang tinggal di kota ini sampai tahun lalu.  Setelah melewati masa pra jabatan aku memang langsung ditugaskan di kota ini, dan tiga tahun kemudian aku di mutasi ke ibukota. 

Tiga tahun di kota ini tentu saja membuatku tidak kekurangan teman.  Dimas adalah sahabat baikku selama aku di kota ini.  Kami sama-sama memulai karir sebagai teman seangkatan, hanya saja Dimas belum mendapat kesempatan untuk mutasi.  Tapi rasanya itu bukan masalah besar baginya, buktinya, Dimas menemukan jodohnya di kota ini. 

“Datanglah Eri, kalau kamu sampai tidak datang ke acaraku, aku obrak-abrik rumahmu nanti, hahaha..” Dimas meneleponku dua minggu lalu saat menyampaikan undangannya.

 “Kamu ini Dimas, itu sih bukan mengundang, tapi memaksa, hahaha..tapi rasanya aku memang terpaksa harus datang ke acaramu, aku ditugaskan untuk berkoordinasi dengan kontraktor yang akan membangun jembatan penghubung kota dengan kabupaten” sahutku.

 “Oh jadi kamu yang akhirnya ditugaskan mengawasi, baguslah, berarti kamu harus berbaik-baik denganku Eri, karena aku yang bertanggung jawab di bagian itu”  jawab Dimas.

 “Wah, berarti aku benar-benar sangat amat terpaksa harus datang kesana, ya sudah, jemput aku di bandara ya, pesawatku Minggu depan mendarat jam lima sore di Balikpapan”.  Dimas pun mengiyakan permintaanku dan berjanji menjemputku di bandara.

Aku sudah berdiri di tempat taksi berjejer dengan rapi menunggu penumpang sambil menikmati hembusan angin laut saat telepon genggamku berbunyi. 

“Ya Dimas, dimana kamu? Aku sudah diluar nih”. 

“Aku masih parkir nih, tunggu sebentar ya” jawab Dimas.

Aku menutup telepon dan berdiri menyandarkan tubuhku di tiang kayu.  Bandara ini memang didekorasi dengan ukiran-ukiran kayu khas suku Dayak, tiang-tiang kayu besar dengan ukiran-ukiran indah menjadi ciri khas yang membedakannya dengan bandara lain.  Untunglah hari ini tidak begitu ramai, jadi aku bisa menunggu dengan tenang.

“I could stay awake, just to hear you breathing… watch you smile while you’re sleeping, while you’re far away and dreaming… “  

Aku terkejut mendengar senandung perlahan dari sebelah kiriku.  Rupanya seorang gadis yang juga berdiri bersandar di tiang yang sama denganku.  Sepertinya dia tidak sadar kalau senandungnya bisa kudengar.  Gadis yang menarik, pikirku.  Dengan rambut ikal sebahu yang dibiarkan tergerai di bawah topi kupluknya, sebagian poninya menutupi sebelah matanya yang seolah-olah sedang memandang seseorang di hadapannya.  Rupanya dia sedang mendengarkan musik, aku bisa melihat music player-nya yang terselip di dalam kantung cardigan oranye nya.  Oranye, pilihan warna yang tidak biasa.  Ransel, celana jeans, dan sepatu kets, mungkin dia anak pegawai perusahaan minyak yang kuliah di Jawa dan menghabiskan liburan semester kembali ke rumah, tipikal kebanyakan anak muda di kota ini.

“I could spend my life in this sweet surrender, I could stay lost in this moment forever…”

aku mengenali lagu I Don’t Wanna Miss a Thing dari Aerosmith yang disenandungkannya.  Suara yang lembut. 

“Eri, maaf membuatmu lama menunggu, aku tidak dapat tempat di dekat sini, jadi agak jauh parkirnya”  suara Dimas membuatku mengalihkan pandangan dari gadis itu.

“Ah, alasan kamu Dimas, bilang saja kamu memang telat berangkat kesini” ujarku sambil memeluk sobatku itu.

“Hahaha..separuhnya betul sih, apa kabar kamu?” tanya Dimas. 

“Baik, seperti yang kau lihat, yuk kita berangkat.” Dimas mengambil koper kecil yang kubawa dan menunjukkan arah ke mobilnya.  Aku menoleh sekilas dan tidak kudapati lagi gadis itu disebelahku.

 “Jadi, gimana persiapan pernikahanmu Dim?”

“Yah, ternyata tidak sesederhana yang kubayangkan.  Aku hanya membayangkan kami berdua dengan keluarga masing-masing di depan penghulu, bawa mas kawin, beres.  Ternyata banyak sekali yang harus disiapkan.  Baju, cincin, seserahan, resepsi, kemauan orang tua, kemauan calon mertua, sampai ingin kubawa lari saja calonku supaya tidak repot, hahaha..” Aku ikut tertawa mendengar jawaban dari Dimas. 

“Lalu, kapan kamu cuti? Kok calon pengantin masih sibuk mengurus pekerjaan?” tanyaku.

“Pastinya setelah aku menyerahkan semua pekerjaanku ke kamu Eri” jawabnya sambil tersenyum lebar.

Kami pun sampai di mess departemen yang menjadi tempat tinggal sementara bagi kami yang berasal dari luar kota.

“Kamu yakin mau di mess? Padahal kalau kamu mau di hotel pun tidak apa-apa kan?” tanya Dimas.

“Tidak apa-apa, aku lebih suka disini.” Jawabku.  Mess ini terletak di pinggir laut, alasan utama aku sangat menyukainya.

“Baiklah kalau itu maumu.  Istirahatlah, besok pagi aku kenalkan kamu ke kontraktor yang kerja sama dengan kita.” 

Setelah Dimas pulang aku masuk ke kamar yang telah disediakan.  Ah, kamar ini masih seperti dulu.  Aku membuka jendelanya yang menghadap ke laut.  Semilir angin laut pun membelai wajahku, dan entah dari mana terngiang sebuah lagu di telingaku saat aku memejamkan mata.

“I could stay lost in this moment, forever...”


Kamis, 18 April 2013

Fraction #1



“Rei”

“Hmm..” aku menoleh dari layar televisi saat mendengar Eri memanggilku.

“Kamu ngga pingin seperti di film-film kesukaan kamu itu?” Eri bertanya sambil menatapku serius.

“Apa sih Eriiii..yang jelas dong pertanyaannya..” Aku menjawab sambil mencubit lengannya yang tidak lepas memeluk bantal sofa.

“Maksudku, kamu ngga pingin seperti wanita normal lainnya? Sudah cukup umur, pekerjaan mapan, cantik, pintar, yah yang jelas kamu ngga malu-maluin lah kalau diajak ke resepsi pernikahan.. aduh..aduh..Rei..ahahaha..”

Aku tidak membiarkan Eri menyelesaikan kalimatnya, bertubi-tubi aku memukulnya dengan bantal sofa yang semula aku peluk.

”Reiii..ahahaha..sudah dong..”

”Habisnya kamu kok seperti menghina begitu sih kalimatnya?”Aku menjawab sambil merengut.

”Loh bagian mana yang menghina sih? Aku kan justru memuji.” Rei membela diri masih sambil tertawa terengah-engah.

”Memangnya kamu pikir kalimat ’yah paling ngga kamu ngga malu-maluin diajak ke resepsi pernikahan’ itu bukan menghina namanya? Nada suara kamu itu lho yang nyebelin.” Jawabku sambil menirukan gaya bicaranya.

”Kamu ngga pingin cari laki-laki yang baik untuk jadi suami kamu?” Tanya Eri dengan nada dan raut wajah serius, kali ini aku tahu dia tidak sedang meneruskan candaannya.

Aku menghela napas panjang dan kembali bersandar di sofa sambil memeluk bantal.

”Kirain mau nanya apaaaa gitu.. padahal tadi adegan filmnya lagi seru.”

Eri tiba-tiba mengambil remote televisi di depan meja dan menekan tombol “Pause”. 

Oke, this will gonna be another long conversation.

“Jadi begini ya Eri, stereotype siklus hidup manusia normal itu adalah lahir – tumbuh besar – sekolah wajib 9 tahun – kuliah – cari kerja – cari pacar – menikah – beli rumah minimalis di perumahan pinggir kota – beli mobil MPV – punya anak – punya cucu – pensiun – menunggu kematian.  Masalahnya, waktu yang dibutuhkan masing-masing manusia untuk melewati fase masing-masing kan tidak sama.  Nah, anggap aja aku sedang berada di fase cari pacar itu, but maybe it just take longer than others, jelas kan?” tegasku.

“Apa kamu sungguh-sungguh mencari? Untuk ukuran orang yang mencari pendamping hidup kamu terlihat seperti tidak melakukan apa-apa?” Eri mencecarku dengan pertanyaan.

“Lalu, kalau aku harus ribut kesana kemari, apa kabar pepatah ‘kalau jodoh tak lari kemana’?” balasku.

“Itu berlaku di era orde lama Rei, bahkan millennium pun sudah berlalu lebih dari 10 tahun yang lalu dan kamu masih berpegang pada pepatah itu?”  Eri tersenyum mengejekku.

“Lalu, kamu menyuruhku jadi perempuan yang kamu sebut ‘kelebihan hormon’ itu?”  Aku bertanya sambil memasang wajah merengut andalanku setiap kali berdebat dengannya.

“Memangnya kriteria idaman kamu tuh seperti apa sih?”  tanya Eri sambil mencubit pipiku.

“Aku ngga tau.  Tidak punya kriteria khusus juga.  Aku akan tahu apakah aku ingin menghabiskan sisa hidupku dengan orang itu atau tidak saat aku bertemu dengannya.”  Jawabku.

“Terus, kamu sudah pernah bertemu orang seperti itu?”

Aku hanya bisa menatap wajah Eri.

“Mungkin  masalahnya ada di hati kamu.  Apakah kamu mau membukanya untuk orang lain atau tidak, dan selama aku mengenalmu, kamu selalu bersikap dingin dan membentengi diri terhadap laki-laki yang berusaha mengenalmu lebih jauh, padahal mereka jelas-jelas berusaha mendekati kamu.  Just give them a chance, maybe one of them is destined to be with you” dan Eri pun menekan tombol ‘Play’ melanjutkan film kami yang tertunda.

Aku hanya bisa terdiam, merenungi kata-kata yang baru saja Eri ucapkan.  Sudah Eri, aku sudah bertemu orang itu.  Dan setiap hari aku merasa berdosa karena mengharapkan takdir berbelok dan menjadikan orang itu ‘the one that destined to be with me’ seperti katamu.  Setiap hari aku merasa bersalah karena berharap waktu terulang dan mempertemukan aku dengan orang itu beberapa tahun lebih awal.  Setiap hari aku merasa menjadi manusia paling keji, karena selalu berkata dalam hati

“Tidak bisakah orang itu kamu, Eri?”

Rabu, 17 April 2013

Fragment #1




Sore yang cerah di pinggir pantai.  Dua jam lagi matahari akan terbenam.  Dan pasti itulah yang dinantikan sebagian besar pengunjung pantai ini.  Pasangan-pasangan dari beragam usia pun bermunculan.  Ah, malam ini malam minggu ya, pantas.  Laut yang terhampar sejauh mata memandang dan langit yang menyatu di ujung horison memang tidak pernah bosan untuk dikunjungi.  Aku memang menyukai laut.  Suka sekali.  Aku senang berlama-lama di pantai atau mengikuti pelayaran-pelayaran ke laut dalam untuk memancing.  Untungnya pekerjaanku memberikan akses untuk melakukan itu.  Memandang laut dan mendengarkan suara ombak sangat menenangkan.  Bagai hipnoterapi yang bisa kaunikmati tanpa harus tertidur dan khawatir melakukan hal-hal yang memalukan.

Dan disinilah aku berada.  Di tepi laut, dua jam menjelang matahari terbenam.  Bersama dengan makhluk unik yang satu ini, Rei.

”Kamu pernah membayangkan ngga Eri, gimana kalau tiba-tiba kamu terbangun pagi hari, dan ternyata kamu sudah ngga ada di tempat tidurmu?  Terus kamu bisa melihat tubuhmu sendiri di bawah kakimu?
Atau kamu pernah ngga membayangkan kalau kamu lagi jalan sambil ngobrol, terus tahu-tahu percakapanmu terhenti dan kamu melihat lawan bicaramu berteriak panik sambil mengguncang-guncangkan tubuhmu?” Rei bertanya sambil menatap mataku lurus.

”Kenapa sih kamu nanya begitu?  Kamu ngga berniat bunuh diri kan Rei?  Aku ngga mau sampai diinterogasi polisi karena jadi orang terakhir yang kamu temui hari ini.”  Aku bertanya sambil tertawa.

”Hahaha..  Aku paling anti sama bunuh diri tau.  Aku nanya serius.”

”Terus, kenapa kamu nanya begitu?”  Aku mengulang pertanyaanku.

”Aku cuma tiba-tiba kepikiran.  Aku hanya membayangkan bagaimana seandainya kalau itu terjadi padaku.  Apakah nanti orang-orang yang mengenalku akan menangis, atau justru senang.  Apa yang akan mereka katakan tentang diriku selagi aku masih hidup.  Apa yang akan mereka tulis di facebook-ku.  Apakah mereka akan mengunjungi makamku dan membawakan bunga. Apa mereka nanti akan mendoakanku.  Apa yang akan aku lakukan ketika mereka melanjutkan hidup.”  Rei berkata sambil memandangi lautan.  ”Aku takut.”  bisiknya lirih.

Kadang aku takjub dengan isi pikiran Rei.  Aku selalu mengagumi kekuatannya.  Kegigihannya dalam melakukan apa pun.  Kemampuannya yang selalu terlihat di atas rata-rata.  Semua orang akan berkata Rei adalah seorang yang pandai dan menyenangkan.  Tetapi terkadang aku merasa Rei terlalu memaksakan diri.  Seperti gadis kecil yang terjebak dalam tubuh seorang wanita.  Seperti cerita Alice in Wonderland yang pernah kubaca.

”Aku tidak tahu, Rei.  Aku juga tidak ingin mencari tahu.  Bukankah kita diberikan kesempatan hidup untuk menjalani kehidupan ini sebaik-baiknya.  Untuk merasakan setiap momen yang datang dan belajar dari setiap kesalahan dan kepedihan.  Tidak usah dipikirkan kemana jiwa kita akan pergi nanti.  Sekarang, dan disini, itulah hidup sebenarnya.  Karena kita tidak tahu detik berikutnya  akan jadi apa.  Kita juga tidak tahu detik yang lewat barusan adalah nyata atau hanya ilusi optik.  Sekarang, dan disini.  Kita yang terjebak dalam kumparan waktu yang sama inilah yang benar-benar nyata.”  Rei menatapku dengan mata sayu-nya.  ”Dan aku janji, kalau aku hidup lebih lama, aku akan rajin berkunjung ke makam kamu sambil bawa bunga dan CD-CD lagu terbaru, hahaha..”  Aku menggodanya sambil mengacak-ngacak rambutnya lembut.

”Eriii..kok bawa CD siih?? ”  Rungutnya sambil berusaha memukulku.

”Hahaha..supaya kamu ngga kesepian kan.”  Rei pun tersenyum.  Aku menyukai wajahnya yang selalu penuh ekspresi.  Rei, tak sadarkah kamu kalau memandangmu seperti melihat matahari terbenam, indah dan hangat.

”Kamu tahu Eri, apa yang paling aku takutkan bukanlah kematian, aku lebih takut kehilangan kendali atas pikiranku, aku takut kehilangan semua endapan memori yang ada dalam kepalaku.  Termasuk memori hari ini.”  Rei berkata serius.

Dan aku kehilangan kata-kata.