Come in with the Rain

Jumat, 29 November 2013

Things i wanna do before i die..


Things I wanna do before I die:

1.       Trapped in the middle of flash mob without knowing it, and then dance along with the mob. 

2.       Being in the front line of live concert from my favorite musicians:  Simple Plan, Taylor Swift, or Maroon 5.  Scream with the energy of Pierre’s voice, or swear with the revenge song from Taylor, or staring and drooling for Adam Levine.

3.       Being able to play guitar and sing my favorite songs with it.  And it will gonna be a looooong playlist.

4.       Being a teacher and then have my own school, one like in Totto chan novel.

5.       Traveling to other island or other country with my best friends.  Spending a whole week doing nothing but explore.

6.       Join a dancing class, traditional dancing and pop dance will be great.

7.       Visiting London and try to find 9 ¾ platform at the King Cross Station, hopefully I find Hogwart Express too.


8.       Have a farmyard and lots of milk cow, so I can drink fresh milk everyday, making ice cream, playing on the yard, and walking around with my barefoot on the grass.

9.       Living in a neighborhood with my soul-sisters only doors away, maybe we can make a neighborhood’s choir or something and join a championship every independence day.



10.   Tell everyone I love, how much I love them and how grateful I am too meet them and for them being a part of my life, right before I die.


.                                                                                                                   .. to be continued.. 




"Synopsis"


“don’t judge the book by it’s cover”

Terlalu naïf rasanya jika terus menganggap semua orang akan berpegang pada pepatah tersebut.  Menilai seseorang dari penampilan luarnya, cara bicaranya, bagaimana pergaulannya, kekayaannya, atau apa saja yang akan dijadikan tolok ukur penilaian kita rasanya tidak akan pernah bisa objektif kalau kita tidak mengalami apa yang orang itu alami tiap detiknya.  Termasuk keputusan-keputusan yang dibuat oleh seseorang.  Manusia kan pada dasarnya hanya pengamat dan penikmat, aneh rasanya jika harus menjadi penilai bagi orang lain sementara dirinya sendiri juga belum tentu lebih bagus dari orang yang dinilai (jujurlah tendensi kita pasti ingin menilai orang lain berada di bawah kita).

Tetapi, di era penuh pencitraan seperti saat ini, kitalah yang harus menentukan citra apa yang ingin kita buat dan kita tampilkan ke orang lain.  Karena first impression seseorang datang dari mata, dari apa yang dia lihat, barulah orang lain akan bersedia mengenalnya lebih jauh.  Ibarat sebuah sinopsis yang tertulis di sampul belakang sebuah buku, and we’re the one who should write that synopsis of ourselves.  and no I’m not just talking about fashion, it’s also about manners. 

First, fashion.  Personally, I’m not fashion freak, saya ngga pernah merasa ada kewajiban mengikuti tren-tren fashion yang lagi ‘IN’ banget, saya hanya memakai baju yang menurut saya nyaman, yang juga menurut saya orang lain akan nyaman melihatnya.  Oke mungkin selera orang akan berbeda-beda, tetapi rasanya sebagian besar orang akan setuju kalau melihat terlalu banyak motif tabrak lari atasan dan bawahan itu agak aneh.  Atau dengan warna yang terlalu mencolok dan seragam dari atas sampai bawah, atau yang warnanya sama sekali ngga nyambung atas dan bawah.  Atau yang bajunya kucel dan kotor apalagi beraroma.  Atau yang memakai celana/rok terlalu ketat sampai garis celana dalamnya kelihatan –pilihlah mau pakai seamless panties atau pakaian yang tidak terlalu ketat.  Atau terlalu update sampai-sampai tidak peduli lagi apakah style itu cocok dengan tubuhnya atau tidak.  Rasanya banyak sekali kejanggalan mode yang sepertinya malah akan menjadikan saya dicap sebagai “Kudet – Kurang apDET” .  But please, anyone, pilihlah fashion yang setidaknya masih diterima dalam batas wajar di tempat kalian tinggal, yang sesuai dengan kepribadian dan juga acara yang dihadiri, jangan sampai salah kostum dan menjadi fashion crime.

Second, manners.  For me, manners DOES matters, it actually shows us how your parents teach you. Mengucapkan “tolong” “maaf” “permisi” dan “terima kasih” rasanya sudah semakin sulit diucapkan sekarang-sekarang ini.  Berbicara sambil teriak-teriak, ketawa cekikikan sampai kedengaran meja sebelah di restoran, makan tapi mulut dan tangan berisik, malas menegur dan senyum lebih dulu ke orang-orang yang sering ditemui, merasa diri paling oke dan paling apdet sampai merendahkan orang lain, dan banyak lagi hal-hal kecil yang bisa bikin “ilfil” seketika.  Dan rasanya kaum adam akan mendapat nilai lebih jika menerapkan manner ini dengan baik, gelar “Gentleman” pun tidak akan sungkan kami sematkan ke cowok-cowok yang kalau nyebrang selalu ambil posisi kanan lalu pindah ke kiri saat di ruas penyebrangan kedua, atau mereka yang tidak segan membukakan pintu, atau yang tetap bersifat ramah dan humble, cowok-cowok yang tidak merokok di dalam angkutan umum atau tempat umum lainnya, it’s the little things that men usually don’t realize but it actually means a lot. 

Jadi menurut saya, don’t judge the book by it’s cover only, read the synopsis, and if you like it, you can read the whole chapter inside, and maybe write a recommendation on the front page.  J

Kamis, 21 November 2013

a whole new world ..


Huaaa.. it’s been a long while since my last post.  Rasanya sudah banyak kejadian yang terlewatkan, dan entah sekarang masih diingat atau tidak.  Saat Pak Tommy-Bos saya di tempat kerja dulu- bertanya tentang catatan-catatan kecil saya, that time I suddenly realized that I miss writing so much.

September lalu, saya mulai terlibat dalam aktivitas yang sudah yah kurang lebih 4 tahun tidak saya lakukan, yaitu kuliah dan mengerjakan segala pernak-perniknya.  Lalu kemudian saat orang-orang di sekitar saya tau apa yang kini saya lakukan, pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang datang berentetan seperti petasan adalah: kuliah dimana? Jurusan apa? Ngapain kuliah lagi? Kenapa lo ambil begituan? XD dan hal-hal sejenis lah yang ditanyakan.  Pertama, saya kuliah di universitas milik yayasan PGRI di dekat rumah, lalu, ambil jurusan yang 1000% melenceng dari almamater awal, yaitu Pendidikan Bahasa Inggris, trus kenapa, ya pasti biar bisa jadi guru hehe..

Entah kenapa saya selalu merasa orang-orang berpikir diam-diam bahwa saya stress dan kurang kerjaan saat saya mengatakan cita-cita saya, but no, absolutely not.  Rasanya memang dari dulu saya menyadari profesi guru sangat menyenangkan, dan kalaupun nanti saya tetap ingin bekerja seperti saat ini, saya bisa mengajar untuk pekerjaan tambahan.  Prinsipnya sama seperti gelas yang diisi air terus-menerus.  Lama-lama air dalam gelas akan tumpah kan, jadi lebih baik menumpahkannya dalam gelas-gelas yang lain, yang mungkin akan menjadi lebih bermanfaat.  Dan ngomong-ngomong tentang guru, mungkin sosok yang sangat menginspirasi saya adalah Butet Manurung, lulusan S2, kehidupan lebih dari cukup, bisa punya karir yang menjanjikan di Jakarta, mungkin bisa jadi anggota dewan, tetapi lebih memilih mengajar anak-anak dari Suku Anak Dalam di tengah hutan dan mendirikan Sakola Rimba.  Mungkin saya belum se-ekstrim itu, but who knows someday?

Minggu lalu saya juga baru menyelesaikan satu judul film seri (yap, Korea lagi)  yang menceritakan tentang kehidupan seorang guru dan murid-muridnya, judul filmnya The Queen’s Classroom.  Guru Ma dalam cerita tersebut, adalah seorang guru yang sangat kejam bahkan sampai dijuluki Nenek sihir Ma.  Dan hal itu bukan tanpa alasan, dari awal saya selalu merasa Guru Ma tidak berperikemanusiaan.  Mendiskriminasi anak berdasarkan nilai, mengadu domba anak muridnya, menghukum dengan pekerjaan fisik yang melelahkan, bahkan membiarkan seorang muridnya dikucilkan.  But later on, di episode-episode terakhir terungkaplah bahwa Guru Ma sengaja bertindak seperti itu agar seluruh kelas bersatu, walau untuk melawannya.  Guru Ma sengaja mendidik anak muridnya dengan keras agar mereka tahu bahwa kehidupan nyata juga sama-bahkan lebih-keras.  Dan dibalik sifatnya yang keras, dia menyimpan catatan yang sangat detail tentang setiap anak didiknya, sampai ke sifat dan psikologis si anak.  Dia bahkan tidak peduli jika anak-anak akan membencinya, dia hanya ingin tiap anak berjuang melawan kekurangan mereka, dan percaya bahwa mereka tidak sendirian, percaya bahwa mereka memiliki teman-teman yang akan membantu mereka.

Dan di episode terakhir yang mengharukan, saya teringat dialog Guru Ma dengan Kim Seo-hyun.

Kim Seo-Hyun:  “Guru, Guru pernah mengatakan bahwa orang yang belajar untuk masuk universitas yang baik atau mendapatkan pekerjaan yang baik agar punya uang banyak adalah kesalahan besar.  Guru juga mengatakan belajar untuk mendapat nilai terbaik juga adalah hal yang bodoh.  Jika seperti itu, lalu untuk apa kita belajar?”

Guru Ma              :  “Ya, aku akan selalu berpendapat belajar untuk hal-hal seperti itu adalah kesalahan.  Ingatlah, ketika kalian masih bayi, kalian akan belajar mengenali siapa orang yang memberi kalian makan, siapa orang yang akan kalian panggil ayah dan ibu, kalian akan mulai membedakan benda-benda disekitar kalian, kalian akan mulai menjejakkan kaki kalian ke tanah.  Untuk apa semua itu, karena kalian ingin tahu seperti apa rasanya.  Saat mulai dewasa kalian juga setiap hari bertanya kepada orang tua kalian, dan kalian akan terus mencoba melakukan hal-hal yang tidak pernah kalian lakukan.  Untuk apa, karena kalian ingin tahu.  Jadi jangan lupakan rasa ingin tahu kalian itu, ingatlah, bahwa kalian belajar karena kalian ingin tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang kalian lontarkan,dan kalian pikirkan.  Jika kalian belajar karena keingintahuan itu, maka kalian pun tidak akan pernah berhenti belajar.”

dan ada satu lagi dialog dari murid bernama Shim Ha-na kepada Guru Ma.

Shim Ha-na         :  "Guru, Guru pernah berkata bahwa hanya 1% orang di dunia ini yang benar-benar bahagia, yang mendapatkan apa yang mereka inginkan setelah bekerja dan belajar dengan keras.  Tapi apa yang kurasakan berbeda.  Seo-hyun merasa bahagia saat membaca buku, Dong-Goo bahagia saat bermain dengan serangga, Bo-mi bahagia saat menggambar komik, aku bahagia saat wajahku dibuat komik oleh Bo-mi.  Jadi bukankah kebahagiaan setiap orang berbeda-beda, dan jika ada 25 anak di kelas ini berarti ada 25 macam kebahagiaan?"

Guru Ma             : "Shim Ha-na, peganglah terus apa yang kamu percayai.  Apapun yang terjadi, kamu harus berjuang untuk apa yang kamu percaya.  Ingatlah kalau kalian tidak sendirian, jadi jika kamu bahagia, kamu harus melihat teman-temanmu, melihat apakah mereka juga bahagia.  Jika kamu bahagia, temanmu juga harus ikut bahagia."

Terlepas dari apa yang akan saya hadapi nanti, terlepas dari takdir yang sudah digariskan, apapun itu, saya tidak menyesal, karena sudah melakukan apa yang saya sukai saat ini  Terus belajar karena ingin mengetahui sesuatu.  Melakukan hal-hal yang membuat saya bahagia.  Dan tentu saja ikut menyaksikan kebahagiaan orang-orang di sekitar saya.