Come in with the Rain

Kamis, 13 Januari 2022

Bougenville, dan Doa yang Terlupakan


Rute perjalanan saya ke sekolah saat SMA selalu melewati area komplek perumahan yang sama dengan berjalan kaki.  Saat itu memang belum ada aplikasi ojek online, dan pilihannya hanya naik becak, ojek pangkalan, atau jalan kaki.  Pilihan berjalan kaki menjadi satu-satunya pilihan bagi saya karena memang tidak ada uang untuk pilihan lainnya.

Komplek perumahan itu bukan komplek mewah memang, hanya komplek Perumnas dengan rumah-rumah yang terlihat sudah lama berdiri, baik dengan bentuk aslinya yang memang sangat sederhana, maupun rumah yang sudah mengalami renovasi dan menjadi lebih besar.

Setiap pagi saya biasa berjalan santai -kalau tidak sedang terlambat- dan melihat-lihat rumah sekitar.  Dari saat itu dan sampai sekarang pun saya suka melihat rumah-rumah, melihat bentuknya, warnanya, dan membayangkan kehidupan yang ada di dalamnya.  Terlebih karena saat itu saya belum memiliki rumah yang layak, jadi saya suka sekali membayangkan bagaimana enaknya tinggal di rumah yang bagus. 

Ada sebuah rumah di pinggir jalan yang selalu membuat saya menengok sebentar setiap saya lewati.  Rumah itu kebetulan rumah kakak kelas saya di SMA, dan saya kadang melihat dia sedang bersiap-siap di terasnya saat saya lewat.  Rumahnya tergolong besar tapi tidak seperti rumah “gedongan”, hanya berlantai dua dengan gaya klasik, pagar berulir, dan berwarna coklat muda.  

Yang membuat saya selalu mendongak ke atas adalah sebuah balkon kecil, dengan bunga bougenville di depannya yang menjulur sampai terlihat dari bawah.  Setiap melihat itu saya selalu berujar dalam hati “bagus ya, enak banget punya kamar ada jendelanya terus ada balkonnya yang banyak bunga begitu, pasti dari bangun tidur udah seneng banget deh”.  Sebuah ujaran dalam hati yang selalu terulang selama tiga tahun melewati rumah itu. 

Sampai tahun lalu, saya masih tidak ingat pernah berpikir seperti itu.  Waktu melihat bougenville di luar kamar saya kadang merasa seperti ada sesuatu yang terlupa dan saya berusaha mengingat tapi tidak bisa.  

Sampai kemudian saya membaca sesuatu tentang doa, sesuatu seperti “yang pergi untuk kembali padamu hanyalah doa” atau “doamu pasti akan dikabulkan Allah di waktu yang terbaik, dan jika tidak pastilah Allah hanya menghindarkanmu dari keburukan yang tidak kamu ketahui”, dan “walaupun kamu hanya mengucap dalam hati, bisa jadi itu adalah sebuah doa yang akan Allah kabulkan pada waktunya”.  Dan kemudian terbayang kejadian di Madinah saat saya tidak benar-benar dalam posisi berdoa tapi Allah kabulkan, barulah kemudian saya ingat.

Delapan belas tahun setelah saya melewati rumah kakak kelas saya itu, Allah ternyata tidak pernah lupa dengan apa yang saya ucapkan dalam hati.  Mungkin sebagian orang memperoleh semua yang mereka inginkan dengan cepat, mungkin sebagian lain harus menunggu bertahun-tahun, tapi itu pasti hanyalah apa yang kita lihat.  

Tidak ada yang terlalu cepat atau terlambat dalam takdir yang sudah digariskan.  Semua berjalan sesuai garisnya masing-masing.  Lalu untuk apa berdoa? Karena kita tidak tahu doa mana yang mungkin mengubah takdir kita itu, doa mana yang akan dikabulkan, atau doa dari siapa yang ternyata darinya lah semua kemudahan yang kita peroleh.  Mengutip kata-kata dari Ustazah Halimah Alaydrus “Jangan menjadikan doa hanya sekedar, sebab doa adalah semua yang kamu perlukan. Jangan sedikit berdoa, jadilah orang yang sedikit-sedikit berdoa.” 

Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah, karena Allah yang maha meng-ijabah segala doa.  Doamu akan didengar bukan karena dirimu, tapi karena Allah Ar Rahman Ar Rahim, As Sami’ud Du’aa.