Come in with the Rain

Rabu, 02 Juli 2014

A Different Side of the City: KL


KL actually my first plan trip to go abroad, but it turned out to be my second.  If my first trip to Singapore I went with my sister, then in my second trip, I went with 5 other people: my best friend’s Vira, Vira’s mom – tante Ida, Vira’s former office mate – Indah, Indah’s Mom, and Indah’s aunt.

 Yes, it was a pack.  Dan menurut saya, kunci untuk berkunjung ke tempat asing adalah menyusun itinerary yang bagus.  Dari jauh-jauh hari kita harus sudah menentukan mau mengunjungi apa saja disana, lalu cari-cari info rute dan harus naik apa ke tempat-tempat itu, dan yang paling penting: hotel.  Kalau waktu ke Singapore saya tinggal terima beres karena semua itinerary sudah dibuat dengan sangat cantik oleh kakak, perjalanan ke KL ini lebih banyak kompromi dan diskusi mengenai itinerary karena kami harus membawa rombongan Ibu-Ibu.  Kalau kami bertiga yang masih muda kan bisa tidur dimana saja, dan bisa jalan kaki sepuasnya, tapi kali ini harus mempertimbangkan kenyamanan Ibu-Ibu dalam rombongan.  Dan hasilnya, setelah 3 kali mengganti pilihan hotel, dan membolak-balik itinerary, akhirnya kami memilih itinerary yang pas dan disetujui semua rombongan. 


Kalau Singapore sangat terlihat futuristik dan tertata rapi, KL sebenarnya tidak ada bedanya dengan Jakarta.  Udaranya, tata kotanya, orang-orang yang melintas, bahasa yang dipakai, semua hampir sama dengan Jakarta, menurut saya sih hampir mirip dengan kawasan Pasar Baru, Mangga Dua dan sekitarnya.  Tapi memang di KL sarana transportasi sudah lebih baik dengan jalur MRT yang tak ubahnya seperti jaringan commuter line di Jakarta.  Bedanya, penyedia jasa MRT tidak dimonopoli, setiap jalur yang berbeda pasti dikelola oleh perusahaan yang berbeda, mungkin itu sebabnya masing-masing penyedia jasa selalu meningkatkan servisnya.  Bus yang tersedia pun nyaman dan terawat.

Saat berkunjung kemana pun, saya selalu lebih tertarik memperhatikan orang-orang yang ada di tempat tersebut.  Apa yang mereka lakukan dan bicarakan, apa yang mereka pakai, bagaimana bunyi bahasa dan dialeknya, bagaimana kebiasaan disana, etc.  Di KL, dominasi penduduk adalah dari ras Melayu, kemudian disusul Cina, dan India.  Sisanya adalah pendatang, dari Thailand, Indonesia, dan negara-negara lain.  Dan karena bahasa Melayu yang paling banyak digunakan, kami pun berbahasa Indonesia dengan mencampur dialek Melayu saat berbicara dengan orang-orang disana – karena bahasa Indonesia dan bahasa Melayu juga hampir sama artinya, dan buktinya kami sama-sama mengerti apa yang dimaksudkan J

Nah, kalau ada kesempatan main ke KL, saya pikir harus mencoba beberapa hal ini;

1.        Makan di warung mamak! Warung mamak sih sebenarnya warung kopi yang buka 24 jam, tapi selain kopi, best seller-nya adalah nasi lemak dan roti canai.  Di depan hotel saya, Hotel Sentral, ada warung mamak namanya Restoran An Nur yang top banget.  Karena setiap pagi kami sarapan disana dan mencoba menu yang berbeda tiap harinya, Uncle pemilik warung sampai meminjamkan kartu diskon swalayannya untuk kami berbelanja :D   saya juga pernah mencoba makan di warung mamak saat malam hari, dan suasananya jauh berbeda.  Kalau malam, warung mamak biasanya dipenuhi uncle-uncle India yang asik mengobrol sambil makan.  Seru!


2.       Main kemanapun, harus berani coba makanan yang belum pernah kita temui.  Yang paling saya suka di KL, tentu saja teh tarik dan roti canai dan pratha, dimakan dengan cocolan kuah kari, huaaa.. enaaakkk.. >.<

3.       Berkunjung ke Batu Caves yang jaraknya seperti Jakarta – Bogor, kemudian naik sampai ke puncaknya.  Batu Caves sebenarnya kuil pemujaan untuk dewa Hindu, dan disana ada patung dewa raksasa yang sangat iconic.  Nah, dikaki patung itu, ada tangga yang puanjaaaaannng menuju gua diatasnya.  Kami bertiga – saya, Vira, dan Indah- bertekad untuk naik sampai ke puncak.  Tapi sungguh perjalanan tak mudah kawan.  Maka benarlah yang dikatakan “Stairway to Heaven, Highway to Hell.”  Sungguh perjalanan ke surga tidak mudah.  Kami yang masih muda saja entah berapa kali harus berhenti untuk tarik napas dan istirahat.  Tapi begitu sampai diatas terbayarlah semuanya,  di dalam gua ada kuil Hindu yang masih digunakan untuk beribadah.  Yang kurang nyaman hanya ratusan monyet yang mengiringi perjalanan dan bau-bau yang menyertai, hehe..  Dan saat kami hendak turun, kami berpandangan terlebih dahulu, saling menguatkan tekad dan semangat, dan menghilangkan dorongan untuk menggelinding saja sampai ke bawah XD


4.       Naik kereta gantung di Genting Resort.  Sumpeeee itu kereta gantung tingginyaaaaaa… jujur saja saya takut ketinggian, walaupun kalau naik pesawat saya tidak takut karena saya yakin itu aman, justru yang lebih menakutkan yang kecil-kecil seperti kereta gantung atau bianglala.  Dan kereta gantung ini naiiiiiiikkkkk terus sampai ke puncak berkabut.  Walhasil saya dan tante Ida sibuk komat kamit baca doa sambil berpegangan, sementara Vira sibuk foto-foto pemandangan sambil berdiri. -__-  But it was fun.  Kalau tak dicoba kan ga bakal tau.



5.       Berkeliling KL naik bis Hop On Hop Off.  Dijamin puas berkeliling dengan double decker berkeliling KL, bisa berhenti di setiap halte, puter-puter sambil foto-foto, naik lagi ke bis, lanjut lagi, begitu terus macam turis. :D


6.       Beli baju India yang dijual di toko-toko India.  Asli saya menyesal cuma beli 2 potong.  Padahal harga disana cuma RM 10, which is kurang lebih Rp 40.000,- dan begitu saya lihat di Thamrin City baju yang mirip-mirip harganya berubah jadi Rp 120.000,- dunia bisnis sungguh kejam (T^T)

7.       Mencoba mengambil foto diri di Twin Tower.  Oke, it might looks easy, tapi kami membutuhkan kurang lebih setengah jam untuk keker sana-keker sini, dengan posisi berdiri – miring-duduk-jongkok-berdiri dekat-berdiri jauh-berdiri di pojok-berdiri di seberang kolam-sedikit nungging-intinya semua posisi sudah dicoba- supaya dapat angle yang pas yang bisa membingkai kami ditengah dengan menara yang kelihatan sampai ke puncak.  Dan ternyata posisi yang pas adalah…. Silakan dicoba sendiri supaya lebih berkesan! (>0<)



Oya, satu yang paling menarik adalah baju yang dipakai wanita Melayu disana.  Karena Malaysia adalah negara Islam, kebanyakan muslimah disana memakai baju kurung model sederhana sepanjang lutut-bahkan betis- dengan bawahan rok lurus atau rampel kecil-kecil.  Motifnya juga sederhana, kalau tidak polos ya kembang-kembang kecil, dipadu dengan jilbab sederhana.  Persis seperti baju Kak Ros di Ipin Upin.  Baju yang kalau di Jakarta pasti bakal dibilang “lo mo kondangan?” padahal disana mereka pakai baju itu ke kantor, ke sekolah, bahkan jalan-jalan di mall, dan terlihat sangat anggun dengan pembawaan yang santun.  Melihat mereka jadi sedikit malu, dan akhirnya sekarang bertekad “kalau beli baju, panjangin sedikit ah, biar ga malu dan ga kalah sama tetangga” J