Come in with the Rain

Kamis, 29 November 2012

Menjadi Seorang “Roker” (ROmbongan KEReta)



Sudah dua bulan ini saya masuk ke lingkungan kerja yang baru dan beradaptasi dengan kekejaman jalanan ibukota.  Karena letak kantor yang cukup jauh dari rumah, saya pun memilih menggunakan jasa angkutan kereta listrik (bukan kereta api) atau nama kerennya Commuter Line (CL) jurusan Jakarta Kota atau Tanah Abang (tergantung telat tidaknya saya berangkat dari rumah).  Pilihan untuk mengandalkan CL tentu saja karena lebih cepat dan bebas macet.  Selama tidak ada gangguan berarti -yang sayangnya cukup sering- sebenarnya angkutan CL sudah cukup nyaman, walau dapat dipastikan saya tidak pernah dapat kursi sampai stasiun Sudirman.  Yah, lumayanlah untuk olahraga pagi-sore.  Dan saya memilih untuk naik di gerbong wanita, walaupun kehilangan kesempatan untuk cuci mata (he :D) tapi rasanya lebih nyaman kalau berdesak-desakan dengan sesama wanita. 

Di dalam kereta yang dipenuhi mungkin sekitar seratus orang setiap gerbongnya, bercampurlah segala macam wujud dari kaum xx ini.  Ada yang make-up nya seperti artis lenong mau manggung, ada yang ngobrolin pembantunya yang pacaran dengan tetangga sebelah, ada yang menelepon anak-anaknya, ada yang ngomongin korupsi di kantornya (ini serius lho saya pernah denger), ada yang sibuk main games dengan tablet-nya, dan ada juga yang tertidur (atau pura-pura tidur, wallahu a’lam) di kursi.  Dan saya kehilangan makna dari kata “ramah-tamah” dan “tolong-menolong” setiap kali saya berada di dalam kereta.  Oke mungkin tulisan saya ini hanya untuk sepersekian orang yang berlaku “kurang pantas”, saya pun ingin meyakini masih banyak orang baik di Jakarta, dan semoga saya tidak berlaku sama saat ada di posisi mereka.

Saya selalu merasa miris setiap kali melihat ibu hamil ikut berdesak-desakan di kereta, dan makin miris saat kami sudah hampir berteriak ke penumpang yang beruntung mendapatkan tempat duduk untuk memberikan tempatnya tapi mereka hanya diam.  Mudah-mudahan mereka memang tertidur, dan mudah-mudahan ini hanya suudzhon saya semata.  Kalau mereka hanya pura-pura tertidur dan mendengar kami yang meminta tolong namun tetap bergeming, biarlah karma yang akan berbicara.  I mean, they are women too.  Tidakkah mereka membayangkan bagaimana nanti kalau mereka hamil dan di posisi seperti itu.  Dan laki-laki pun sering berlaku sama, bisa duduk dengan tenang dan pura-pura tidur padahal di depannya wanita-wanita tangguh yang membantu suami mereka mencari nafkah sedang berdiri kelelahan.  Tidakkah mereka melihat bayangan ibu dan istri mereka di mata para wanita itu.   Sekali lagi mudah-mudahan ini hanya suudzhon saya semata.  Dan bukan berarti saya ingin mendapat tempat duduk besok pagi, saya merasa masih sanggup berdiri. 

Saya pun teringat film pendek dari Jepang yang pernah saya tonton di pesawat.  Saya lupa judulnya, tapi film itu bercerita tentang kehidupan beberapa orang yang bertemu di kereta yang sama, namun mereka tidak pernah saling kenal.  Ada remaja yang memiliki pacar yang suka mabuk dan memukulinya namun ia tak pernah berani untuk pergi.  Ada seorang ibu yang hidup dengan penghasilan suami yang pas-pasan namun memaksakan diri ikut di dalam lingkaran sosial yang lebih tinggi agar tidak digunjingkan.  Ada seorang pelajar yang belajar supaya lulus ujian karena ia akan menyampaikan perasaannya kepada pria pujaannya hanya jika lulus ujian.  Dan yang paling menyentuh adalah kisah seorang wanita yang telah tiga tahun bertunangan dengan teman sekantornya, namun tunangannya malah ingin menikahi teman wanitanya di kantor yang sama karena wanita itu terlanjur hamil. 

Saya ingat wanita yang ditinggal menikah ini datang ke acara pernikahan tunangannya tersebut dengan gaun yang sangat indah dan riasan yang sangat cantik sampai pengantin wanitanya pun kalah cantik, dan karena sang pengantin wanita risih melihat tamunya lebih cantik, wanita ini pun diminta pulang lebih dulu.  Dan pulanglah wanita ini dengan membawa souvenir, berjalan dengan anggun dan membiarkan pengunjung yang lain berpikiran bahwa pengantin pria sudah salah memilih mempelai.  Terdengar kejam?  Tidak menurut saya.  Karena setelah wanita itu naik kereta dalam perjalanan pulang, mulailah ia menangis tersedu menunjukkan kehancuran  hatinya.  Penumpang yang lain hanya memperhatikan dengan aneh.  Sampai seorang nenek bertanya apakah ia mau bercerita mengapa ia menangis begitu hebatnya.  Diceritakanlah semua beban hatinya kepada seorang nenek yang baru pertama kali ia temui di dalam kereta.  Dan komentar nenek tersebut setelah mendengar ceritanya adalah
“Mungkin saya berbeda dengan kebanyakan orang tua lain yang akan berkata bahwa tindakanmu adalah tindakan yang buruk.  Tidak.  Kalau kamu ingin membalas laki-laki itu saya akan melakukan hal yang sama.  Balaslah sampai kamu puas.  Tapi kemudian kamu harus bangkit dari dendam itu, pindah dari pekerjaanmu, dan memulai kehidupan yang baru.  Tidak apa-apa seorang wanita menangis.  Tapi wanita sejati adalah mereka yang memiliki kekuatan untuk menghentikan air matanya sendiri.” 
Nenek itu pun memberikan saran kepada wanita tersebut untuk turun di stasiun berikutnya dan menenangkan diri.  Wanita ini setelah sempat merasa ragu akhirnya menuruti saran nenek itu.  Berhentilah ia di stasiun berikutnya.  Dan setelah berkeliling barulah ia mengerti kenapa nenek itu menyuruhnya berhenti di stasiun tersebut.  Ia turun di kota yang sangat damai dan indah untuk menenangkan diri.

Setelah cerita panjang lebar saya, terima kasih masih melanjutkan.  Lalu mungkin teman-teman bertanya, “Lantas, apa maksud cerita tersebut?”

Setiap hari di dalam kereta, hampir semua orang sibuk dengan telepon genggamnya masing-masing (ya, saya juga termasuk di dalamnya).  Dengan headset di telinga, kita sibuk menjelajah dunia maya.  Jarang kita temui lagi orang-orang yang bertemu di dalam kendaraan bertegur sapa dan mengobrol tentang hal-hal sederhana.  Setiap orang yang mencoba mengajak berbicara pasti langsung kita curigai, dan kita takut menatap matanya karena takut dihipnotis.  Akibatnya, kita pun tidak berani mengajak berbicara karena takut dicurigai.  Lalu kemana perginya “ramah-tamah” dan “tolong-menolong” itu?  Apakah kita melakukannya hanya terhadap orang yang kita kenal?  Apakah semua orang itu adalah “orang asing” sampai kita tau pin BB-nya atau alamat facebook-nya? 

Dan di akhir film itu, epilog dari sang nenek 
“Mungkin kita merasa, tidak ada gunanya kita menceritakan masalah kita kepada orang lain, apalagi kepada orang yang tidak dikenal.  Kalau semua orang berpikiran seperti itu, tidak ada lagi orang-orang yang saling berbagi cerita.  Jangan pernah berpikir kalau satu suaramu tidak akan membuat perbedaan.  Jangan pernah berpikir kalau kamu hanya akan melakukan perbuatan yang sia-sia.  Karena menceritakan masalahmu kepada orang lain tidak pernah sia-sia.”

See how a small thing can make a big difference?  Let’s begin with a small step. 

Jika kita belum mau menceritakan masalah kita kepada orang lain, dengarkanlah mereka yang ingin bercerita.  Jika kita tidak bisa memberikan kursi, bantulah untuk mengimbau kepada yang pura-pura tertidur (balik lagi ke kereta :p) and see how we can make a big difference to their life.