Sudah dua bulan ini saya masuk ke lingkungan kerja
yang baru dan beradaptasi dengan kekejaman jalanan ibukota. Karena letak kantor yang cukup jauh dari
rumah, saya pun memilih menggunakan jasa angkutan kereta listrik (bukan kereta
api) atau nama kerennya Commuter Line (CL) jurusan Jakarta Kota atau Tanah
Abang (tergantung telat tidaknya saya berangkat dari rumah). Pilihan untuk mengandalkan CL tentu saja
karena lebih cepat dan bebas macet.
Selama tidak ada gangguan berarti -yang sayangnya cukup sering- sebenarnya
angkutan CL sudah cukup nyaman, walau dapat dipastikan saya tidak pernah dapat
kursi sampai stasiun Sudirman. Yah,
lumayanlah untuk olahraga pagi-sore. Dan
saya memilih untuk naik di gerbong wanita, walaupun kehilangan kesempatan untuk
cuci mata (he :D) tapi rasanya lebih nyaman kalau berdesak-desakan dengan
sesama wanita.
Di dalam kereta yang dipenuhi mungkin sekitar seratus
orang setiap gerbongnya, bercampurlah segala macam wujud dari kaum xx ini. Ada yang make-up nya seperti artis lenong mau
manggung, ada yang ngobrolin pembantunya yang pacaran dengan tetangga sebelah,
ada yang menelepon anak-anaknya, ada yang ngomongin korupsi di kantornya (ini serius
lho saya pernah denger), ada yang sibuk main games dengan tablet-nya, dan ada
juga yang tertidur (atau pura-pura tidur, wallahu a’lam) di kursi. Dan saya kehilangan makna dari kata
“ramah-tamah” dan “tolong-menolong” setiap kali saya berada di dalam
kereta. Oke mungkin tulisan saya ini
hanya untuk sepersekian orang yang berlaku “kurang pantas”, saya pun ingin
meyakini masih banyak orang baik di Jakarta, dan semoga saya tidak berlaku sama
saat ada di posisi mereka.
Saya selalu merasa miris setiap kali melihat ibu hamil
ikut berdesak-desakan di kereta, dan makin miris saat kami sudah hampir
berteriak ke penumpang yang beruntung mendapatkan tempat duduk untuk memberikan
tempatnya tapi mereka hanya diam.
Mudah-mudahan mereka memang tertidur, dan mudah-mudahan ini hanya
suudzhon saya semata. Kalau mereka hanya
pura-pura tertidur dan mendengar kami yang meminta tolong namun tetap
bergeming, biarlah karma yang akan berbicara.
I mean, they are women too.
Tidakkah mereka membayangkan bagaimana nanti kalau mereka hamil dan di
posisi seperti itu. Dan laki-laki pun
sering berlaku sama, bisa duduk dengan tenang dan pura-pura tidur padahal di
depannya wanita-wanita tangguh yang membantu suami mereka mencari nafkah sedang
berdiri kelelahan. Tidakkah mereka melihat
bayangan ibu dan istri mereka di mata para wanita itu. Sekali lagi mudah-mudahan ini hanya suudzhon
saya semata. Dan bukan berarti saya
ingin mendapat tempat duduk besok pagi, saya merasa masih sanggup berdiri.
Saya pun teringat film pendek dari Jepang yang pernah
saya tonton di pesawat. Saya lupa
judulnya, tapi film itu bercerita tentang kehidupan beberapa orang yang bertemu
di kereta yang sama, namun mereka tidak pernah saling kenal. Ada
remaja yang memiliki pacar yang suka mabuk dan memukulinya namun ia tak pernah
berani untuk pergi. Ada seorang ibu yang hidup dengan penghasilan
suami yang pas-pasan namun memaksakan diri ikut di dalam lingkaran sosial yang
lebih tinggi agar tidak digunjingkan. Ada seorang pelajar yang
belajar supaya lulus ujian karena ia akan menyampaikan perasaannya kepada pria
pujaannya hanya jika lulus ujian. Dan
yang paling menyentuh adalah kisah seorang wanita yang telah tiga tahun
bertunangan dengan teman sekantornya, namun tunangannya malah ingin menikahi
teman wanitanya di kantor yang sama karena wanita itu terlanjur hamil.
Saya ingat wanita yang ditinggal menikah ini datang ke
acara pernikahan tunangannya tersebut dengan gaun yang sangat indah dan riasan
yang sangat cantik sampai pengantin wanitanya pun kalah cantik, dan karena sang
pengantin wanita risih melihat tamunya lebih cantik, wanita ini pun diminta
pulang lebih dulu. Dan pulanglah wanita
ini dengan membawa souvenir, berjalan dengan anggun dan membiarkan pengunjung
yang lain berpikiran bahwa pengantin pria sudah salah memilih mempelai. Terdengar kejam? Tidak menurut saya. Karena setelah wanita itu naik kereta dalam
perjalanan pulang, mulailah ia menangis tersedu menunjukkan kehancuran hatinya.
Penumpang yang lain hanya memperhatikan dengan aneh. Sampai seorang nenek bertanya apakah ia mau
bercerita mengapa ia menangis begitu hebatnya.
Diceritakanlah semua beban hatinya kepada seorang nenek yang baru
pertama kali ia temui di dalam kereta.
Dan komentar nenek tersebut setelah mendengar ceritanya adalah
“Mungkin
saya berbeda dengan kebanyakan orang tua lain yang akan berkata bahwa
tindakanmu adalah tindakan yang buruk. Tidak.
Kalau kamu ingin membalas laki-laki itu saya akan melakukan hal yang
sama. Balaslah sampai kamu puas. Tapi kemudian kamu harus bangkit dari dendam
itu, pindah dari pekerjaanmu, dan memulai kehidupan yang baru. Tidak apa-apa seorang wanita menangis. Tapi wanita sejati adalah mereka yang
memiliki kekuatan untuk menghentikan air matanya sendiri.”
Nenek itu pun memberikan saran kepada wanita
tersebut untuk turun di stasiun berikutnya dan menenangkan diri. Wanita ini setelah sempat merasa ragu
akhirnya menuruti saran nenek itu.
Berhentilah ia di stasiun berikutnya.
Dan setelah berkeliling barulah ia mengerti kenapa nenek itu menyuruhnya
berhenti di stasiun tersebut. Ia turun
di kota yang
sangat damai dan indah untuk menenangkan diri.
Setelah cerita panjang lebar saya, terima kasih masih
melanjutkan. Lalu mungkin teman-teman
bertanya, “Lantas, apa maksud cerita tersebut?”
Setiap hari di dalam kereta, hampir semua orang sibuk
dengan telepon genggamnya masing-masing (ya, saya juga termasuk di
dalamnya). Dengan headset di telinga,
kita sibuk menjelajah dunia maya. Jarang
kita temui lagi orang-orang yang bertemu di dalam kendaraan bertegur sapa dan
mengobrol tentang hal-hal sederhana.
Setiap orang yang mencoba mengajak berbicara pasti langsung kita
curigai, dan kita takut menatap matanya karena takut dihipnotis. Akibatnya, kita pun tidak berani mengajak
berbicara karena takut dicurigai. Lalu
kemana perginya “ramah-tamah” dan “tolong-menolong” itu? Apakah kita melakukannya hanya terhadap orang
yang kita kenal? Apakah semua orang itu
adalah “orang asing” sampai kita tau pin BB-nya atau alamat facebook-nya?
Dan di akhir film itu, epilog dari sang nenek
“Mungkin
kita merasa, tidak ada gunanya kita menceritakan masalah kita kepada orang
lain, apalagi kepada orang yang tidak dikenal.
Kalau semua orang berpikiran seperti itu, tidak ada lagi orang-orang
yang saling berbagi cerita. Jangan pernah
berpikir kalau satu suaramu tidak akan membuat perbedaan. Jangan pernah berpikir kalau kamu hanya akan
melakukan perbuatan yang sia-sia. Karena
menceritakan masalahmu kepada orang lain tidak pernah sia-sia.”
See how a small thing can make a big difference? Let’s begin with a small step.
Jika kita belum mau menceritakan masalah kita kepada
orang lain, dengarkanlah mereka yang ingin bercerita. Jika kita tidak bisa memberikan kursi,
bantulah untuk mengimbau kepada yang pura-pura tertidur (balik lagi ke kereta
:p) and see how we can make a big difference to their life.
Enci menginspirasi sekali, sampe satu tarikan nafas gw bacanya (lebay) hehe...
BalasHapusCari dong filmnya, Pengen nonton juga...
Ya gw pun masih bisa merasakan hal-hal itu saat naik TJ walaupun gak tiap hari, rasa-rasanya ke-egoisan mengambil alih sebagian orang,
Gw sendiri gak mau ngecap diri sebagai orang baik tapi gw kenal karma, mudah-mudahan semakin banyak orang yang sadar karma selain sadar hukum...^^
perasaan sih gw udah pernah cerita deh ni pilem ke lo, tapi sih kayaknya pas kita lagi makan..jadi so pasti lo lebih konsen ke makanannya..hehehe.. gw lupa judul filmnyaaa..nanti gw korek2 dulu memori gw yee..
Hapusyah begitulah..rasanya individualitas itu saat ini sudah jadi sesuatu yang biasa.. kita biasain lagi yuk jadi orang Indonesia.. (^^)
rinceeeee....
BalasHapustos sesama roker...
*komentar yg penting*
mau judul filmnya dong...
i really touched by the sentence *huhuhu
ahahaha.. *tos pake kartu comet*
Hapusnah itu dia vhaaa..gw tu lupa judulnyaa...
huhuuu..klo ga salah ada angka 11 nya.. eleven minutes atau eleven station atau apa gtu..
apa kita kudu tanya Gar**a? :p