Come in with the Rain

Jumat, 27 Juni 2014

A different side of the city: Singapore.


Few years ago, travelling to another country was just a b*llsh*t dream for me.  That it was only a dream in my highest imagination.  That I never imagined it would become true.  But it did.  It was all started when my friend, Vira, asked me if I want to join her to a trip to KL because she got a promo ticket, and I just said I would.  I thought my first destination abroad will be KL, but then when my sister heard that we’d travelling to KL –me and Vira -  she envied us and then asked me to go to Singapore, and of course I said I would, again.  So then I got 2 plans abroad in October 2013 and February 2014, and it was so much exciting.

So my first trip changed to Singapore then.

I remember the scene from The Hunger Games movie, when Katniss and Peeta from district 12 was seeing Capitol for the first time, when they saw everything in amazement, and that’s exactly how I felt when I came to Singapore.


Sebenarnya sih keadaan Singapura dan Jakarta secara iklim tidak jauh berbeda.  Secara penduduk juga sama dengan Jakarta dengan masing-masing keragaman yang dimilikinya.  Namun harus diakui kalau pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana publik di Singapura sudah jauh diatas Jakarta.  Apalagi sarana transportasinya.  Singaporean yang mengendarai motor atau mobil pribadi hanyalah mereka yang masuk golongan kelas atas, karena pajak kendaraan dan biaya parkir yang tinggi.  Sisanya, lebih memilih transportasi publik.  Jalur MRT dan bus yang menghubungkan seluruh kota dengan tarif terjangkau dan jadwal yang reliable menjadi alasan untuk lebih memilih menggunakan transportasi massal ini.


Dan satu hal lagi yang mengagumkan dari Singaporean adalah ketertiban mereka dalam segala hal.  Yah wajar saja sih karena di setiap sudut ada CCTV dan ancaman denda yang lumayan mahal untuk setiap pelanggaran.  Memang kehidupan mereka jadi seperti terlihat monoton dan seperti robot, but I prefer order than chaos.  And when I was there, ada beberapa hal menarik yang saya temui dan mungkin harus diketahui jadi kalau suatu saat kalian kesana, kalian tidak akan terlihat “Indonesia banget”.

1.        Singaporean use escalator in 2 lines/2 sides.  The left side is for those who prefer to stand and enjoy the escalator.  While the right side is for those who prefer to walk.  Jadi, jangan berlaku seperti saat di Indonesia ketika naik escalator dengan teman dan kalian berdiri bersisian dan hanya diam menikmati pemandangan sambil mengobrol. 

2.       Ketika naik kendaraan umum, khususnya MRT, mereka yang ingin naik tidak berdiri di depan pintu, tetapi di kedua sisi pintu.  Jalan di depan pintu hanya untuk yang turun.  Bandingkan dengan adu otot yang terjadi saat mau naik Commuter Line di Jakarta.  Sungguh saya merasa seperti orang barbar.

3.       Tidak ada makan/minum didalam MRT!

4.       Young Singaporean prefers to stand inside the MRT, even if the seats are empty, even if the seats are not in the priority area.  They might wear something weird, but they know how to prioritize the priority people.

5.       In fast food restaurant, when you have finished your meal, you should take the tray and throw the trash in the trash bin, then put the tray in its place (usually beside the trash bin).  Never leave your trash behind!

6.       The toilets are dry toilets.  They rarely use water, so you should prepare wet tissues.

7.        Singaporean are use to walk.  Jadi walaupun jarak antar halte bus mungkin sedikit jauh, jangan manja, semua orang berjalan kaki dan menikmatinya.  Kalau tidak mau capek atau kepanasan, ya di hotel saja. Dan berjalanlah dengan mengikuti ritme orang-orang disana, karena ritme pejalan kaki di Singapura lebih cepat dari pada pejalan kaki disini yang suka jalan sambil berleha-leha.

And what amazed me most is, many old men and women are still working.  Kakek-kakek dan nenek-nenek yang berjalan saja sudah pelan-pelan, masih bekerja menjadi cleaning service atau pengawas ketertiban di stasiun MRT.  Agak sedikit miris, tapi bangga melihatnya.  Dan saya membaca bahwa setiap lansia memang masih berhak bekerja, dan ada perusahaan yang khusus merekrut mereka, bahkan sebenarnya perusahaan tidak boleh menolak mereka selama mereka masih sanggup dan ada lowongan yang tersedia.  Para lansia itu bekerja dengan beragam alasan, tapi kebanyakan untuk mengisi waktu pensiun dan agar bisa memberi angpau pada cucu-cucunya.  Pemerintah Singapura berpendapat untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian khusus seperti cleaning service,  tidak boleh diserahkan ke anak muda, karena anak muda harus bekerja di bidang lain yang bisa ikut membangun bangsa.  Dan ternyata ada kisah mengharukan di balik kesempatan bekerja dan penghargaan bagi para lansia ini, you can find the link’s story here

Memegang kata-kata bos saya, Bu Sanni, “Daripada membeli benda mahal-mahal yang ujung-ujungnya bakal rusak juga, mending kamu beli pengalaman, kalau pengalaman bakal diingat terus.  Dan menurut saya,, untuk sekali seumur hidup setidaknya, kamu harus coba jalan-jalan keluar negeri, supaya tau kehidupan yang berbeda di luar sana, ngga akan rugi, walaupun uang kamu habis dan tabungan sisa 100 ribu, tapi kan orang-orang ngga bakal tau juga.”   Keren ya!