“don’t judge the book by it’s cover”
Terlalu naïf rasanya jika terus menganggap semua orang akan
berpegang pada pepatah tersebut. Menilai
seseorang dari penampilan luarnya, cara bicaranya, bagaimana pergaulannya, kekayaannya,
atau apa saja yang akan dijadikan tolok ukur penilaian kita rasanya tidak akan
pernah bisa objektif kalau kita tidak mengalami apa yang orang itu alami tiap
detiknya. Termasuk keputusan-keputusan
yang dibuat oleh seseorang. Manusia kan
pada dasarnya hanya pengamat dan penikmat, aneh rasanya jika harus menjadi
penilai bagi orang lain sementara dirinya sendiri juga belum tentu lebih bagus
dari orang yang dinilai (jujurlah tendensi kita pasti ingin menilai orang lain
berada di bawah kita).
Tetapi, di era penuh pencitraan seperti saat ini, kitalah
yang harus menentukan citra apa yang ingin kita buat dan kita tampilkan ke
orang lain. Karena first impression
seseorang datang dari mata, dari apa yang dia lihat, barulah orang lain akan
bersedia mengenalnya lebih jauh. Ibarat
sebuah sinopsis yang tertulis di sampul belakang sebuah buku, and we’re the one
who should write that synopsis of ourselves. and no I’m not just talking about fashion, it’s also about manners.
First, fashion.
Personally, I’m not fashion freak, saya ngga pernah merasa ada kewajiban
mengikuti tren-tren fashion yang lagi ‘IN’ banget, saya hanya memakai baju yang
menurut saya nyaman, yang juga menurut saya orang lain akan nyaman
melihatnya. Oke mungkin selera orang
akan berbeda-beda, tetapi rasanya sebagian besar orang akan setuju kalau
melihat terlalu banyak motif tabrak lari atasan dan bawahan itu agak aneh. Atau dengan warna yang terlalu mencolok dan
seragam dari atas sampai bawah, atau yang warnanya sama sekali ngga nyambung atas
dan bawah. Atau yang bajunya kucel dan
kotor apalagi beraroma. Atau yang
memakai celana/rok terlalu ketat sampai garis celana dalamnya kelihatan
–pilihlah mau pakai seamless panties atau pakaian yang tidak terlalu ketat. Atau terlalu update sampai-sampai tidak
peduli lagi apakah style itu cocok dengan tubuhnya atau tidak. Rasanya banyak sekali kejanggalan mode yang
sepertinya malah akan menjadikan saya dicap sebagai “Kudet – Kurang apDET”
. But please, anyone, pilihlah fashion
yang setidaknya masih diterima dalam batas wajar di tempat kalian tinggal, yang
sesuai dengan kepribadian dan juga acara yang dihadiri, jangan sampai salah
kostum dan menjadi fashion crime.
Second, manners. For
me, manners DOES matters, it actually shows us how your parents teach you. Mengucapkan
“tolong” “maaf” “permisi” dan “terima kasih” rasanya sudah semakin sulit
diucapkan sekarang-sekarang ini. Berbicara
sambil teriak-teriak, ketawa cekikikan sampai kedengaran meja sebelah di
restoran, makan tapi mulut dan tangan berisik, malas menegur dan senyum lebih
dulu ke orang-orang yang sering ditemui, merasa diri paling oke dan paling
apdet sampai merendahkan orang lain, dan banyak lagi hal-hal kecil yang bisa
bikin “ilfil” seketika. Dan rasanya kaum
adam akan mendapat nilai lebih jika menerapkan manner ini dengan baik, gelar
“Gentleman” pun tidak akan sungkan kami sematkan ke cowok-cowok yang kalau
nyebrang selalu ambil posisi kanan lalu pindah ke kiri saat di ruas
penyebrangan kedua, atau mereka yang tidak segan membukakan pintu, atau yang
tetap bersifat ramah dan humble, cowok-cowok yang tidak merokok di dalam
angkutan umum atau tempat umum lainnya, it’s the little things that men usually don’t realize but it actually means a lot.
Jadi menurut saya, don’t judge the book by it’s cover only,
read the synopsis, and if you like it, you can read the whole chapter inside,
and maybe write a recommendation on the front page. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar