Come in with the Rain

Jumat, 29 November 2013

"Synopsis"


“don’t judge the book by it’s cover”

Terlalu naïf rasanya jika terus menganggap semua orang akan berpegang pada pepatah tersebut.  Menilai seseorang dari penampilan luarnya, cara bicaranya, bagaimana pergaulannya, kekayaannya, atau apa saja yang akan dijadikan tolok ukur penilaian kita rasanya tidak akan pernah bisa objektif kalau kita tidak mengalami apa yang orang itu alami tiap detiknya.  Termasuk keputusan-keputusan yang dibuat oleh seseorang.  Manusia kan pada dasarnya hanya pengamat dan penikmat, aneh rasanya jika harus menjadi penilai bagi orang lain sementara dirinya sendiri juga belum tentu lebih bagus dari orang yang dinilai (jujurlah tendensi kita pasti ingin menilai orang lain berada di bawah kita).

Tetapi, di era penuh pencitraan seperti saat ini, kitalah yang harus menentukan citra apa yang ingin kita buat dan kita tampilkan ke orang lain.  Karena first impression seseorang datang dari mata, dari apa yang dia lihat, barulah orang lain akan bersedia mengenalnya lebih jauh.  Ibarat sebuah sinopsis yang tertulis di sampul belakang sebuah buku, and we’re the one who should write that synopsis of ourselves.  and no I’m not just talking about fashion, it’s also about manners. 

First, fashion.  Personally, I’m not fashion freak, saya ngga pernah merasa ada kewajiban mengikuti tren-tren fashion yang lagi ‘IN’ banget, saya hanya memakai baju yang menurut saya nyaman, yang juga menurut saya orang lain akan nyaman melihatnya.  Oke mungkin selera orang akan berbeda-beda, tetapi rasanya sebagian besar orang akan setuju kalau melihat terlalu banyak motif tabrak lari atasan dan bawahan itu agak aneh.  Atau dengan warna yang terlalu mencolok dan seragam dari atas sampai bawah, atau yang warnanya sama sekali ngga nyambung atas dan bawah.  Atau yang bajunya kucel dan kotor apalagi beraroma.  Atau yang memakai celana/rok terlalu ketat sampai garis celana dalamnya kelihatan –pilihlah mau pakai seamless panties atau pakaian yang tidak terlalu ketat.  Atau terlalu update sampai-sampai tidak peduli lagi apakah style itu cocok dengan tubuhnya atau tidak.  Rasanya banyak sekali kejanggalan mode yang sepertinya malah akan menjadikan saya dicap sebagai “Kudet – Kurang apDET” .  But please, anyone, pilihlah fashion yang setidaknya masih diterima dalam batas wajar di tempat kalian tinggal, yang sesuai dengan kepribadian dan juga acara yang dihadiri, jangan sampai salah kostum dan menjadi fashion crime.

Second, manners.  For me, manners DOES matters, it actually shows us how your parents teach you. Mengucapkan “tolong” “maaf” “permisi” dan “terima kasih” rasanya sudah semakin sulit diucapkan sekarang-sekarang ini.  Berbicara sambil teriak-teriak, ketawa cekikikan sampai kedengaran meja sebelah di restoran, makan tapi mulut dan tangan berisik, malas menegur dan senyum lebih dulu ke orang-orang yang sering ditemui, merasa diri paling oke dan paling apdet sampai merendahkan orang lain, dan banyak lagi hal-hal kecil yang bisa bikin “ilfil” seketika.  Dan rasanya kaum adam akan mendapat nilai lebih jika menerapkan manner ini dengan baik, gelar “Gentleman” pun tidak akan sungkan kami sematkan ke cowok-cowok yang kalau nyebrang selalu ambil posisi kanan lalu pindah ke kiri saat di ruas penyebrangan kedua, atau mereka yang tidak segan membukakan pintu, atau yang tetap bersifat ramah dan humble, cowok-cowok yang tidak merokok di dalam angkutan umum atau tempat umum lainnya, it’s the little things that men usually don’t realize but it actually means a lot. 

Jadi menurut saya, don’t judge the book by it’s cover only, read the synopsis, and if you like it, you can read the whole chapter inside, and maybe write a recommendation on the front page.  J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar