KL actually my first plan trip to go abroad, but it turned
out to be my second. If my first trip to
Singapore I went with my sister, then in my second trip, I went with 5 other
people: my best friend’s Vira, Vira’s mom – tante Ida, Vira’s former office
mate – Indah, Indah’s Mom, and Indah’s aunt.
Yes, it was a pack. Dan menurut saya, kunci untuk berkunjung ke
tempat asing adalah menyusun itinerary yang bagus. Dari jauh-jauh hari kita harus sudah
menentukan mau mengunjungi apa saja disana, lalu cari-cari info rute dan harus
naik apa ke tempat-tempat itu, dan yang paling penting: hotel. Kalau waktu ke Singapore saya tinggal terima
beres karena semua itinerary sudah dibuat dengan sangat cantik oleh kakak,
perjalanan ke KL ini lebih banyak kompromi dan diskusi mengenai itinerary
karena kami harus membawa rombongan Ibu-Ibu.
Kalau kami bertiga yang masih muda kan bisa tidur dimana saja, dan bisa
jalan kaki sepuasnya, tapi kali ini harus mempertimbangkan kenyamanan Ibu-Ibu
dalam rombongan. Dan hasilnya, setelah 3
kali mengganti pilihan hotel, dan membolak-balik itinerary, akhirnya kami
memilih itinerary yang pas dan disetujui semua rombongan.
Kalau Singapore sangat terlihat futuristik dan tertata rapi,
KL sebenarnya tidak ada bedanya dengan Jakarta.
Udaranya, tata kotanya, orang-orang yang melintas, bahasa yang dipakai,
semua hampir sama dengan Jakarta, menurut saya sih hampir mirip dengan kawasan
Pasar Baru, Mangga Dua dan sekitarnya.
Tapi memang di KL sarana transportasi sudah lebih baik dengan jalur MRT
yang tak ubahnya seperti jaringan commuter line di Jakarta. Bedanya, penyedia jasa MRT tidak dimonopoli,
setiap jalur yang berbeda pasti dikelola oleh perusahaan yang berbeda, mungkin
itu sebabnya masing-masing penyedia jasa selalu meningkatkan servisnya. Bus yang tersedia pun nyaman dan terawat.
Saat berkunjung kemana pun, saya selalu lebih tertarik
memperhatikan orang-orang yang ada di tempat tersebut. Apa yang mereka lakukan dan bicarakan, apa
yang mereka pakai, bagaimana bunyi bahasa dan dialeknya, bagaimana kebiasaan
disana, etc. Di KL, dominasi penduduk
adalah dari ras Melayu, kemudian disusul Cina, dan India. Sisanya adalah pendatang, dari Thailand,
Indonesia, dan negara-negara lain. Dan
karena bahasa Melayu yang paling banyak digunakan, kami pun berbahasa Indonesia
dengan mencampur dialek Melayu saat berbicara dengan orang-orang disana –
karena bahasa Indonesia dan bahasa Melayu juga hampir sama artinya, dan
buktinya kami sama-sama mengerti apa yang dimaksudkan J
Nah, kalau ada kesempatan main ke KL, saya pikir harus
mencoba beberapa hal ini;
1.
Makan di
warung mamak! Warung mamak sih sebenarnya warung kopi yang buka 24 jam, tapi
selain kopi, best seller-nya adalah nasi lemak dan roti canai. Di depan hotel saya, Hotel Sentral, ada
warung mamak namanya Restoran An Nur yang top banget. Karena setiap pagi kami sarapan disana dan
mencoba menu yang berbeda tiap harinya, Uncle pemilik warung sampai meminjamkan
kartu diskon swalayannya untuk kami berbelanja :D saya juga pernah mencoba makan di warung
mamak saat malam hari, dan suasananya jauh berbeda. Kalau malam, warung mamak biasanya dipenuhi
uncle-uncle India yang asik mengobrol sambil makan. Seru!
2.
Main kemanapun, harus berani coba makanan yang
belum pernah kita temui. Yang paling
saya suka di KL, tentu saja teh tarik dan roti canai dan pratha, dimakan dengan
cocolan kuah kari, huaaa.. enaaakkk.. >.<
3.
Berkunjung ke Batu Caves yang jaraknya seperti
Jakarta – Bogor, kemudian naik sampai ke puncaknya. Batu Caves sebenarnya kuil pemujaan untuk
dewa Hindu, dan disana ada patung dewa raksasa yang sangat iconic. Nah, dikaki patung itu, ada tangga yang
puanjaaaaannng menuju gua diatasnya.
Kami bertiga – saya, Vira, dan Indah- bertekad untuk naik sampai ke
puncak. Tapi sungguh perjalanan tak
mudah kawan. Maka benarlah yang
dikatakan “Stairway to Heaven, Highway to Hell.” Sungguh perjalanan ke surga tidak mudah. Kami yang masih muda saja entah berapa kali
harus berhenti untuk tarik napas dan istirahat.
Tapi begitu sampai diatas terbayarlah semuanya, di dalam gua ada kuil Hindu yang masih
digunakan untuk beribadah. Yang kurang
nyaman hanya ratusan monyet yang mengiringi perjalanan dan bau-bau yang
menyertai, hehe.. Dan saat kami hendak
turun, kami berpandangan terlebih dahulu, saling menguatkan tekad dan semangat,
dan menghilangkan dorongan untuk menggelinding saja sampai ke bawah XD
4.
Naik kereta gantung di Genting Resort. Sumpeeee itu kereta gantung tingginyaaaaaa…
jujur saja saya takut ketinggian, walaupun kalau naik pesawat saya tidak takut
karena saya yakin itu aman, justru yang lebih menakutkan yang kecil-kecil
seperti kereta gantung atau bianglala.
Dan kereta gantung ini naiiiiiiikkkkk terus sampai ke puncak berkabut. Walhasil saya dan tante Ida sibuk komat kamit
baca doa sambil berpegangan, sementara Vira sibuk foto-foto pemandangan sambil
berdiri. -__- But it was fun. Kalau tak dicoba kan ga bakal tau.
5.
Berkeliling KL naik bis Hop On Hop Off. Dijamin puas berkeliling dengan double decker
berkeliling KL, bisa berhenti di setiap halte, puter-puter sambil foto-foto,
naik lagi ke bis, lanjut lagi, begitu terus macam turis. :D
6.
Beli baju India yang dijual di toko-toko
India. Asli saya menyesal cuma beli 2
potong. Padahal harga disana cuma RM 10,
which is kurang lebih Rp 40.000,- dan begitu saya lihat di Thamrin City baju
yang mirip-mirip harganya berubah jadi Rp 120.000,- dunia bisnis sungguh kejam
(T^T)
7.
Mencoba mengambil foto diri di Twin Tower. Oke, it might looks easy, tapi kami
membutuhkan kurang lebih setengah jam untuk keker sana-keker sini, dengan
posisi berdiri – miring-duduk-jongkok-berdiri dekat-berdiri jauh-berdiri di
pojok-berdiri di seberang kolam-sedikit nungging-intinya semua posisi sudah
dicoba- supaya dapat angle yang pas yang bisa membingkai kami ditengah dengan
menara yang kelihatan sampai ke puncak.
Dan ternyata posisi yang pas adalah…. Silakan dicoba sendiri supaya
lebih berkesan! (>0<)
Oya, satu yang paling menarik adalah baju yang dipakai
wanita Melayu disana. Karena Malaysia
adalah negara Islam, kebanyakan muslimah disana memakai baju kurung model
sederhana sepanjang lutut-bahkan betis- dengan bawahan rok lurus atau rampel
kecil-kecil. Motifnya juga sederhana,
kalau tidak polos ya kembang-kembang kecil, dipadu dengan jilbab sederhana. Persis seperti baju Kak Ros di Ipin
Upin. Baju yang kalau di Jakarta pasti
bakal dibilang “lo mo kondangan?” padahal disana mereka pakai baju itu ke
kantor, ke sekolah, bahkan jalan-jalan di mall, dan terlihat sangat anggun dengan pembawaan yang santun. Melihat mereka jadi sedikit malu, dan akhirnya sekarang bertekad “kalau
beli baju, panjangin sedikit ah, biar ga malu dan ga kalah sama tetangga” J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar