Come in with the Rain

Senin, 25 Februari 2013

You may say I’m a dreamer, but I’m not the only one.. *




Saat saya menjadi siswa Sekolah Dasar, dan ditanya mengenai cita-cita, dengan yakin saya menjawab “Mau jadi dokter”.  Rasanya jawaban yang standar untuk ukuran anak-anak, karena saat itu, menjadi dokter terlihat sangat keren dengan jas putih dan stetoskop yang menjuntai di leher.  Dan untuk merintis karier, saya pun mengikuti program Dokter Kecil di SD tempat saya bersekolah.  Walaupun harus sampai menangis memintanya ke Ibu pada saat itu (saya menyesal sekarang, karena uang yang dipakai untuk membeli seragam dokter kecil bisa dipakai untuk yang lain). 

Saat saya menjadi siswa SMP, dan keadaan keluarga mulai berubah, saya menyadari mustahil menjadi dokter, karena membutuhkan biaya yang sangat banyak untuk mencapainya.  Lagipula, saya kemudian menyadari pelajaran-pelajaran eksakta pun tidak terlalu menyenangkan.  Kemudian masa SMP pun berlalu tanpa cita-cita.

Saat kemudian saya menjadi siswa SMA, di sebuah SMA yang paling diminati satu kota, saya tidak lagi memikirkan cita-cita.  Saya hanya memikirkan bagaimana caranya bertahan di tengah-tengah siswa-siswi yang notabene jauh lebih pintar dan lebih berada.  Dan dua tahun pertama terlewati dengan penuh ke-tidakpercayadiri-an.  Saya selalu merasa tidak dapat berbaur dengan baik, hanya memiliki beberapa teman yang benar-benar baik, dan selalu merasa mengapa saya tidak seberuntung orang-orang itu.  Dan saat mereka sibuk mempersiapkan masa depan dengan belajar agar dapat diterima di jurusan favorit di universitas favorit, saya hanya berpikir untuk kuliah di kampus yang lumayan (lumayan bagus dan lumayan terjangkau), tidak perlu sarjana supaya kakak tidak perlu terlalu lama membiayai, dan bisa langsung cari kerja.  Dan masa kelas 3 SMA saya pun tidak terlalu tegang seperti teman-teman yang lain.

Saat akhirnya kuliah di Poltek, saya mulai menemukan siapa diri saya, apa yang saya sukai, apa yang tidak saya sukai, apa yang saya sukai dari orang-orang di sekeliling saya, apa yang mereka sukai dari saya, dan menemukan teman-teman yang terus menemani saya sampai saat ini.  Pelajaran yang menyenangkan, orang-orang yang menyenangkan, kehidupan yang menyenangkan.  Masa-masa yang paling saya sukai, dan terasa berlalu dengan cepat.

Ketika mulai terjebak dengan rutinitas kerja, akan sampai titik dimana kamu merasa jenuh tapi justru bisa melihat dengan lebih jernih.  Dan saat itulah saya mulai menemukan impian saya kembali.  Saya ingin bekerja di tengah kepolosan anak-anak, yang tidak penuh dengan kelicikan dan kemunafikan seperti orang dewasa, saya ingin menjadi guru.  Dan kemudian banyak yang mengatakan saya gila.  Dan saya dengan tidak tahu malu mengatakan “so what?!”

Terus kenapa kalau saya baru menemukan apa yang saya inginkan?  Mereka semua bilang saya akan sudah terlalu tua untuk itu.  Tapi usia kan bukan menjadi patokan untuk tidak melakukan sesuatu.  Lagipula, saya tidak ingin saat saya berusia 50 tahun dan melihat foto-foto saya di masa muda saya mengatakan “Dulu, aku pernah bermimpi menjadi guru, tapi tidak pernah berani melakukannya..”  walaupun saya tidak tahu apa yang akan terjadi, gagal atau berhasil, tapi setidaknya saya akan berkata “Aku telah mencobanya.”  

Tapi ternyata, Tuhan senang sekali menguji niat saya.  Mungkin inilah jawaban dari doa-doa saya yang memohon agar selalu diberi kekuatan.  Masalah-masalah yang terkadang aneh, jalan hidup yang rumit dan berputar-putar, adaaaaaa saja yang Tuhan lakukan untuk menjajal kekuatan saya.  Saya dilempar ke Balikpapan, saya ditarik kembali ke Jakarta, saya diterima tes masuk ekstensi tapi tidak cocok dengan jam kerja, ah, Tuhan ini iseng sekali.  Senang sekali mungkin kalau melihat saya sedih, menangis kebingungan, lalu lega dan terkikik geli sendiri ketika menyadari jalan-jalan lain yang perlahan-lahan ditunjukkan.  Tenang saja, saya tidak akan mengecewakan-Mu yang telah begitu baik menciptakan jalan hidup yang unik ini, ditengah kesibukan-Mu mengatur jalan hidup milyaran makhluk di semesta, dan Kau mengatur jalanku dengan sangat apik, mempertemukannya dengan persimpangan jalan orang lain, dan masih memberikan langit dan udara dengan gratis.

Lalu, satu ketika Mamieh (one of my best ever friend) melontarkan ide di percakapan online grup kami “Kita bikin sekolah yuk bareng-bareng” dan saya dengan cepat menjawab tanpa berpikir dua kali “Ayuk!” Tidak peduli kemanapun nantinya impian ini akan membawa kami.

So my dear God, ijinkan saya berlaku egois kali ini saja.  Because I’m gonna pursue it.  No matter what.




*from the song by John Lennon, Imagine.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar