Saat saya menjadi siswa Sekolah
Dasar, dan ditanya mengenai cita-cita, dengan yakin saya menjawab “Mau jadi
dokter”. Rasanya jawaban yang standar
untuk ukuran anak-anak, karena saat itu, menjadi dokter terlihat sangat keren
dengan jas putih dan stetoskop yang menjuntai di leher. Dan untuk merintis karier, saya pun mengikuti
program Dokter Kecil di SD tempat saya bersekolah. Walaupun harus sampai menangis memintanya ke
Ibu pada saat itu (saya menyesal sekarang, karena uang yang dipakai untuk
membeli seragam dokter kecil bisa dipakai untuk yang lain).
Saat saya menjadi siswa SMP, dan
keadaan keluarga mulai berubah, saya menyadari mustahil menjadi dokter, karena
membutuhkan biaya yang sangat banyak untuk mencapainya. Lagipula, saya kemudian menyadari
pelajaran-pelajaran eksakta pun tidak terlalu menyenangkan. Kemudian masa SMP pun berlalu tanpa
cita-cita.
Saat kemudian saya menjadi siswa
SMA, di sebuah SMA yang paling diminati satu kota, saya tidak lagi memikirkan
cita-cita. Saya hanya memikirkan
bagaimana caranya bertahan di tengah-tengah siswa-siswi yang notabene jauh
lebih pintar dan lebih berada. Dan dua
tahun pertama terlewati dengan penuh ke-tidakpercayadiri-an. Saya selalu merasa tidak dapat berbaur dengan
baik, hanya memiliki beberapa teman yang benar-benar baik, dan selalu merasa
mengapa saya tidak seberuntung orang-orang itu.
Dan saat mereka sibuk mempersiapkan masa depan dengan belajar agar dapat
diterima di jurusan favorit di universitas favorit, saya hanya berpikir untuk
kuliah di kampus yang lumayan (lumayan bagus dan lumayan terjangkau), tidak
perlu sarjana supaya kakak tidak perlu terlalu lama membiayai, dan bisa
langsung cari kerja. Dan masa kelas 3
SMA saya pun tidak terlalu tegang seperti teman-teman yang lain.
Saat akhirnya kuliah di Poltek,
saya mulai menemukan siapa diri saya, apa yang saya sukai, apa yang tidak saya
sukai, apa yang saya sukai dari orang-orang di sekeliling saya, apa yang mereka
sukai dari saya, dan menemukan teman-teman yang terus menemani saya sampai saat
ini. Pelajaran yang menyenangkan,
orang-orang yang menyenangkan, kehidupan yang menyenangkan. Masa-masa yang paling saya sukai, dan terasa
berlalu dengan cepat.
Ketika mulai terjebak dengan
rutinitas kerja, akan sampai titik dimana kamu merasa jenuh tapi justru bisa
melihat dengan lebih jernih. Dan saat
itulah saya mulai menemukan impian saya kembali. Saya ingin bekerja di tengah kepolosan
anak-anak, yang tidak penuh dengan kelicikan dan kemunafikan seperti orang
dewasa, saya ingin menjadi guru. Dan
kemudian banyak yang mengatakan saya gila.
Dan saya dengan tidak tahu malu mengatakan “so what?!”
Terus kenapa kalau saya baru
menemukan apa yang saya inginkan? Mereka
semua bilang saya akan sudah terlalu tua untuk itu. Tapi usia kan bukan menjadi patokan untuk
tidak melakukan sesuatu. Lagipula, saya
tidak ingin saat saya berusia 50 tahun dan melihat foto-foto saya di masa muda
saya mengatakan “Dulu, aku pernah bermimpi menjadi guru, tapi tidak pernah
berani melakukannya..” walaupun saya
tidak tahu apa yang akan terjadi, gagal atau berhasil, tapi setidaknya saya
akan berkata “Aku telah mencobanya.”
Tapi ternyata, Tuhan senang
sekali menguji niat saya. Mungkin inilah
jawaban dari doa-doa saya yang memohon agar selalu diberi kekuatan. Masalah-masalah yang terkadang aneh, jalan
hidup yang rumit dan berputar-putar, adaaaaaa saja yang Tuhan lakukan untuk
menjajal kekuatan saya. Saya dilempar ke
Balikpapan, saya ditarik kembali ke Jakarta, saya diterima tes masuk ekstensi
tapi tidak cocok dengan jam kerja, ah, Tuhan ini iseng sekali. Senang sekali mungkin kalau melihat saya
sedih, menangis kebingungan, lalu lega dan terkikik geli sendiri ketika
menyadari jalan-jalan lain yang perlahan-lahan ditunjukkan. Tenang saja, saya tidak akan mengecewakan-Mu
yang telah begitu baik menciptakan jalan hidup yang unik ini, ditengah
kesibukan-Mu mengatur jalan hidup milyaran makhluk di semesta, dan Kau mengatur
jalanku dengan sangat apik, mempertemukannya dengan persimpangan jalan orang
lain, dan masih memberikan langit dan udara dengan gratis.
Lalu, satu ketika Mamieh (one of
my best ever friend) melontarkan ide di percakapan online grup kami “Kita bikin
sekolah yuk bareng-bareng” dan saya dengan cepat menjawab tanpa berpikir dua
kali “Ayuk!” Tidak peduli kemanapun nantinya impian ini akan membawa kami.
So my dear God, ijinkan saya
berlaku egois kali ini saja. Because I’m
gonna pursue it. No matter what.
*from the song by John Lennon, Imagine.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar