Come in with the Rain
Jumat, 23 Mei 2014
Doing Fine
I keep telling myself that I'm fine
That everything is going to be just fine
Because that's the only thing I can do
hopes,
expectations,
efforts,
reality.
For sometimes they just don't appear like what you dream of,
but you'll gonna be just fine after all.
Selasa, 20 Mei 2014
Obituari untuk Pak Tommy
Saya masih ingat
perkenalan dengan Pak Tommy. Saya dan
teman-teman seangkatan saat itu ditugaskan di Balikpapan. Entah berapa kilometer jauhnya dari rumah
saya di Depok. Terbuang di Kalimantan,
di tempat pertama saya bekerja, tentu selain merasa excited, pasti juga terasa
homesick, bingung, stress menghadapi pekerjaan, dan beragam perasaan lainnya. Pak
Tommy lah yang membawa cerita tentang dirinya yang juga mengalami hal yang sama
bertahun-tahun sebelumnya, dan menciptakan suasana yang penuh canda agar kami melupakan bahwa kami sedang jauh dari rumah.
Kami mengenalnya
sebagai sosok yang amat baik, rendah hati, low profile yang membuatnya mampu
bercanda dengan siapa saja, dan tentunya dengan hobi merokoknya yang bahkan
bisa membuatnya merokok di dalam ruangan.
Pak Tommy selalu berpembawaan santai dan seperti tanpa masalah. Tidak pernah bertindak seperti atasan lain
yang gila hormat dan suka menyuruh seenaknya.
Bu Tommy, istrinya, pun sangat baik, selalu ramah, penuh senyum, senang bercanda
dengan kami, tidak pernah bertindak seperti “ibu pejabat”, dan bahkan saya
sangat menyukai anak-anaknya, terlebih Rima, anaknya yang ketiga, yang saat itu
sedang lucu-lucunya. Dan tahun pertama
saya berada di Balikpapan pun terasa seperti di rumah sendiri, dan saat Pak
Tommy dipindahtugaskan ke Jogja, mulailah orang-orang baik mengikutinya pergi
dan rasanya “rumah” tak lagi sama.
Saya menulis ini,
karena Pak Tommy juga, yang walaupun sudah tidak satu tempat kerja, tetapi masih suka
menanyakan kabar kami lewat facebook walau hanya sekedar ‘say hi’, dan yang
paling saya ingat adalah saat Pak Tommy menanyakan tulisan-tulisan kecil saya,
dan anjurannya agar saya terus menulis. Saya,
yang menulis ala kadarnya saja, sangat tersanjung membacanya, dan berjanji untuk
terus menulis. Dan akhirnya hari ini
saya menulis khusus untuk Bapak, walaupun tidak pernah terbayang yang akan saya
tulis adalah obituari Bapak.
Semoga Bapak
tenang disana ya Pak, dan mendapat balasan atas kebaikan-kebaikan yang pernah
Bapak lakukan, dan semoga istri dan anak-anak Bapak senantiasa diberikan
kekuatan dan kesabaran sepeninggal Bapak.
Saya pun teringat kata-kata orang-orang terdahulu, bahwa orang-orang
baik memang selalu dipanggil lebih dulu, karena Allah lebih menyayangi mereka.
“Dan di dunia
ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula
kembali pulang. Seperti dunia dalam
pasar malam. Seorang-seorang mereka
datang dan pergi. Dan yang belum pergi
dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana” (Dunia dalam
Pasar Malam – Pramoedya Ananta Toer)
Senin, 12 Mei 2014
Faith
Waktu SMA dulu, saya ingat mengisi sebuah form dengan pertanyaan :
Menurut kamu, iman itu apa?
Dan kemudian saya menjawab, iman itu seperti tali layang-layang, tipis, kuat, membawa kita melihat tempat tinggi, tapi tetap menahan kita untuk tidak terbang lepas, tentu kita adalah layang-layangnya.
Lalu kalau sekarang saya mendapat pertanyaan yang sama, saya akan menjawab,
Menurut saya, iman itu, saat kamu memegang dada kirimu dan merasa takjub akan detak jantung yang terasa begitu ritmik, lebih indah dari simfoni Mozart atau Beethoven nomor berapapun, terus berdetak tanpa terlihat dirigen-nya, tapi kamu percaya ada dirigen yang luar biasa hebat sampai menciptakan ritmik seperti itu dalam milyaran tubuh manusia.
Menurut saya, iman itu saat kamu memandangi langit dan mendapati bintang-bintang diam bersinar di tempatnya, tanpa kamu merasa khawatir mereka akan jatuh menimpamu -yah walaupun memang bisa- karena ada yang menahan mereka untuk tetap beredar di garis edarnya masing-masing.
Menurut saya, iman itu saat kamu bisa merasakan tetesan hujan -yang ternyata air tawar, bukan air asin, apalagi air asam- padahal hujan itu dari air laut yang menguap, yang seharusnya akan terasa asin. Dan kamu bersyukur bahwa hujan yang turun hanya rintik-rintik air, bukan datang dalam rintik-rintik bijih besi atau selongsong peluru.
Menurut saya, iman itu berarti terus melangkah, walaupun kamu tidak tau apa yang ada di depan sana, kamu hanya meyakini bahwa segelap apapun, pasti langkahmu akan menjejak di tanah, dan mungkin kamu akan menemukan matahari, atau sinar bulan, atau cahaya lilin, kunang-kunang, atau hanya cahaya fluorescent seperti sticker glow in the dark bentuk bintang-bintang yang biasa kamu tempelkan di dinding kamar, yang akan menerangi jalanmu, sedikit demi sedikit.
Lalu, kalau ada rasa percaya seperti itu, apa perlu lagi agama?
Ya itu sih terserah kalian,
Tapi saya percaya, kalau agama yang akan memberikan batasan-batasan mengenai apa yang kalian percayai.
Lalu, kalau misalnya ada orang lain yang menetapkan batasan yang berbeda, dan bilang kalau kalian melewati batasannya, terus apakah lantas kalian akan saling menghina satu sama lain?
Itu terserah kalian juga.
So let it be.
Menurut kamu, iman itu apa?
Dan kemudian saya menjawab, iman itu seperti tali layang-layang, tipis, kuat, membawa kita melihat tempat tinggi, tapi tetap menahan kita untuk tidak terbang lepas, tentu kita adalah layang-layangnya.
Lalu kalau sekarang saya mendapat pertanyaan yang sama, saya akan menjawab,
Menurut saya, iman itu, saat kamu memegang dada kirimu dan merasa takjub akan detak jantung yang terasa begitu ritmik, lebih indah dari simfoni Mozart atau Beethoven nomor berapapun, terus berdetak tanpa terlihat dirigen-nya, tapi kamu percaya ada dirigen yang luar biasa hebat sampai menciptakan ritmik seperti itu dalam milyaran tubuh manusia.
Menurut saya, iman itu saat kamu memandangi langit dan mendapati bintang-bintang diam bersinar di tempatnya, tanpa kamu merasa khawatir mereka akan jatuh menimpamu -yah walaupun memang bisa- karena ada yang menahan mereka untuk tetap beredar di garis edarnya masing-masing.
Menurut saya, iman itu saat kamu bisa merasakan tetesan hujan -yang ternyata air tawar, bukan air asin, apalagi air asam- padahal hujan itu dari air laut yang menguap, yang seharusnya akan terasa asin. Dan kamu bersyukur bahwa hujan yang turun hanya rintik-rintik air, bukan datang dalam rintik-rintik bijih besi atau selongsong peluru.
Menurut saya, iman itu berarti terus melangkah, walaupun kamu tidak tau apa yang ada di depan sana, kamu hanya meyakini bahwa segelap apapun, pasti langkahmu akan menjejak di tanah, dan mungkin kamu akan menemukan matahari, atau sinar bulan, atau cahaya lilin, kunang-kunang, atau hanya cahaya fluorescent seperti sticker glow in the dark bentuk bintang-bintang yang biasa kamu tempelkan di dinding kamar, yang akan menerangi jalanmu, sedikit demi sedikit.
Lalu, kalau ada rasa percaya seperti itu, apa perlu lagi agama?
Ya itu sih terserah kalian,
Tapi saya percaya, kalau agama yang akan memberikan batasan-batasan mengenai apa yang kalian percayai.
Lalu, kalau misalnya ada orang lain yang menetapkan batasan yang berbeda, dan bilang kalau kalian melewati batasannya, terus apakah lantas kalian akan saling menghina satu sama lain?
Itu terserah kalian juga.
So let it be.
Standar Sumbangan
Semua bermula saat kami – saya dan
teman-teman di kantor – ngobrol selepas solat.
Dan wajarnya obrolan wanita yang berpindah-pindah topik pembicaraan,
berpindahlah kami ke topik mengenai sumbangan untuk kado ulang tahun.
Dan tiba-tiba seseorang berujar “iya kalo
sumbangan gitu gw suka ngeliatin isi amplop gedenya, masa ya, ya ampun padahal
kita di kantoran, tapi ada aja gitu uang seribuan..”
And in my head I could hear a witch sound
screaming like “WHAAATTTSSS???”
Bukan karena ikut kaget mendengar ada uang
seribuan, tapi kaget karena MASIH ada orang yang bilang begitu. Hari gini.
Tahun 2014. Di mana Pluto sudah bukan
lagi planet, dan bapak-bapak ceking model bokap gueh mo jadi presiden??
Maksudnya, oh come on..
Buat apa coba nyumbang 500 ribu kalo
disebut-sebut, buat apa nyumbang sejuta kalo ga ikhlas, mending nyumbang seribu
kan tapi
ikhlas, ditambah doa ikhlas dari orang-orang yang baik. Lagian, kalopun ada yang nyumbang seribu juga
wajar kan ,
siapa tau yang ngasih seribu itu lagi bener-bener susah, dari yang gajinya
pas-pasan misalnya, dan uang seribu itu mengurangi jatah makan siangnya hari
itu. Ok I might sound naïve, I might
sound as bad as her because I spread her behavior, but forgive me, that
conversation disturbed my head ever since, and I need to spit it out here.
And you know what I said to her?
“Lho, siapa tau dia nyumbang 51ribu, atau
101ribu, karena dia males aja megang seribuan, ato ngotor-ngotorin dompetnya,
buat apa disimpen kalo ga dipake juga buat bayar angkot ato bayar parkir,
udahlah kasih aja sekalian, gitu pikirnya.”
And her expression was like I just slapped
her face with money. And did I satisfy? Of course I did.
Langganan:
Postingan (Atom)