Come in with the Rain

Selasa, 28 Oktober 2014

You Won't Feel A Thing

So lately, some people constantly asking what i'm looking for - from someone of course.
They thought that i'm looking for perfection, while i am not.
And I never in the mood to explain every time they ask me, and it always end up with me laughing with the phrase 'i don't even know what I've been looking for' hanging on my lips.
But as every day, every thing that happened for the whole day always repeating before i sleep, including the question.

Then i found out, I'm looking for courageous, bravery, dauntless -whatever it's called- that shining from someone's eyes.
The courage that can assure me that everything's gonna be all right.
It's just that simple.

Well,
with another list of not-so-but-it-does-important extras i guess  


And this is the soundtrack of this post, a very brave song that always makes me imagine what kind of person will give the meaning of the song. 


                                           "You Won't Feel A Thing"
                                                       The Script

I've been kicked right down
I've been spat in the face
I've been pulled, weighed down
To the lowest place
I've been lied to, shamed
I have been disgraced
Been ex-communicated from every holy place
I've been beat up and robbed
I've been left for dead
For the way I look 
For the things I said

When trouble thinks it's found us
The world falls down around us 
I promise baby you won't ever
You won't ever feel a thing

[Chorus:]
Cause I will take it on the chin
Eh, for you
So lay your cuts and bruises over my skin
I promise you won't feel a thing
Cause everything the world could throw
I'll stand in front. I'll take the blow for you.
For you.

I've been cleared on the street
I've been left in the cold
Had my dreams held up
Had them shot full of holes
I've been laughed at, burnt, beat and butt of the joke
I've been lit up in flames
I have gone down in smoke
I've been stabbed in the back
While they promised the earth
Tried to keep my head high
For all I am worth

Aside I'm double blazing
I know when war is raging
I promise baby you won't ever
You won't ever feel a thing

[Chorus]

Yeah.
And if I fall here
At least you know my dear that I would die for you
Promise you won't ever feel a thing
And if I fall here
At least you know my dear that I would die for you
Promise you won't ever feel a thing

[Chorus]

Yeah everything the world could throw
I'll take the sticks, I'll take the stones for you
For you


**You can listen the song here

Rabu, 10 September 2014

N.D.E

That one second when you're in danger,
You never realized that it was dangerous.
That one second when your mind was blank and you just stare,
you didn't even realize that you were holding your breath
And one second after that,
You just realized that death was closer than you ever thought.
And "what if" thoughts that comes afterwards are even worse.
Then you just realized that you're afraid of death.
Then I was realized that it wasn't my death i fear most,
But what will happen to my parents when I die.
What will they eat and where will they sleep if my sister not around.

Jumat, 15 Agustus 2014

Destiny Never Comes Too Late


Recently I hear this words said to me - much: "Unfortunately you came too late.." "If only he knew you first.." and so on and so on..

I strongly believe that destiny never comes too late, that never a single leaf would fall without written by the Creator.

Lalu kalau ada orang yang berkata saya terlambat muncul dalam hidup seseorang, saya jadi bingung.  I mean, I’m always here, I never know when my life would cross someone else’s line.  It’s not my power to decide when I will show up in someone's mind.  I just here.

And sadly, it wasn't happened just once, I already went through this kind of situation several times.  And in my past years, I would blame destiny of course.  But now I think I've grown up.  I would never blame anything, anyone, or anyhow.  I believe that everything happens for a reason.  There'll always be a reason when you're not destined to fit into someone's life.  Besides, only good people for another good people, while maybe I'm not good enough, God knows.

And now, as I'm getting tired of that "why not me" questions from myself and others, I simply will do nothing than pray, because that's the only thing I can do.
I will pray, for myself, for you, for everyone else, for wherever my road may lead, it will lead me to a good one, the best one.

So please my friend, can we just stop the questions and asking another questions instead?
I always try not to have regrets anymore, " tidak ada yang kusesali, tidak juga nanti, kuharap kamu juga demikian.." Kata Dee di Supernova.  Dan kalau mengutip kata-kata Fahd Djibran "Lagipula, diatas segalanya, jodoh bukan cuma soal perasaan..".

It's destiny.  And destiny never comes too late.

Rabu, 02 Juli 2014

A Different Side of the City: KL


KL actually my first plan trip to go abroad, but it turned out to be my second.  If my first trip to Singapore I went with my sister, then in my second trip, I went with 5 other people: my best friend’s Vira, Vira’s mom – tante Ida, Vira’s former office mate – Indah, Indah’s Mom, and Indah’s aunt.

 Yes, it was a pack.  Dan menurut saya, kunci untuk berkunjung ke tempat asing adalah menyusun itinerary yang bagus.  Dari jauh-jauh hari kita harus sudah menentukan mau mengunjungi apa saja disana, lalu cari-cari info rute dan harus naik apa ke tempat-tempat itu, dan yang paling penting: hotel.  Kalau waktu ke Singapore saya tinggal terima beres karena semua itinerary sudah dibuat dengan sangat cantik oleh kakak, perjalanan ke KL ini lebih banyak kompromi dan diskusi mengenai itinerary karena kami harus membawa rombongan Ibu-Ibu.  Kalau kami bertiga yang masih muda kan bisa tidur dimana saja, dan bisa jalan kaki sepuasnya, tapi kali ini harus mempertimbangkan kenyamanan Ibu-Ibu dalam rombongan.  Dan hasilnya, setelah 3 kali mengganti pilihan hotel, dan membolak-balik itinerary, akhirnya kami memilih itinerary yang pas dan disetujui semua rombongan. 


Kalau Singapore sangat terlihat futuristik dan tertata rapi, KL sebenarnya tidak ada bedanya dengan Jakarta.  Udaranya, tata kotanya, orang-orang yang melintas, bahasa yang dipakai, semua hampir sama dengan Jakarta, menurut saya sih hampir mirip dengan kawasan Pasar Baru, Mangga Dua dan sekitarnya.  Tapi memang di KL sarana transportasi sudah lebih baik dengan jalur MRT yang tak ubahnya seperti jaringan commuter line di Jakarta.  Bedanya, penyedia jasa MRT tidak dimonopoli, setiap jalur yang berbeda pasti dikelola oleh perusahaan yang berbeda, mungkin itu sebabnya masing-masing penyedia jasa selalu meningkatkan servisnya.  Bus yang tersedia pun nyaman dan terawat.

Saat berkunjung kemana pun, saya selalu lebih tertarik memperhatikan orang-orang yang ada di tempat tersebut.  Apa yang mereka lakukan dan bicarakan, apa yang mereka pakai, bagaimana bunyi bahasa dan dialeknya, bagaimana kebiasaan disana, etc.  Di KL, dominasi penduduk adalah dari ras Melayu, kemudian disusul Cina, dan India.  Sisanya adalah pendatang, dari Thailand, Indonesia, dan negara-negara lain.  Dan karena bahasa Melayu yang paling banyak digunakan, kami pun berbahasa Indonesia dengan mencampur dialek Melayu saat berbicara dengan orang-orang disana – karena bahasa Indonesia dan bahasa Melayu juga hampir sama artinya, dan buktinya kami sama-sama mengerti apa yang dimaksudkan J

Nah, kalau ada kesempatan main ke KL, saya pikir harus mencoba beberapa hal ini;

1.        Makan di warung mamak! Warung mamak sih sebenarnya warung kopi yang buka 24 jam, tapi selain kopi, best seller-nya adalah nasi lemak dan roti canai.  Di depan hotel saya, Hotel Sentral, ada warung mamak namanya Restoran An Nur yang top banget.  Karena setiap pagi kami sarapan disana dan mencoba menu yang berbeda tiap harinya, Uncle pemilik warung sampai meminjamkan kartu diskon swalayannya untuk kami berbelanja :D   saya juga pernah mencoba makan di warung mamak saat malam hari, dan suasananya jauh berbeda.  Kalau malam, warung mamak biasanya dipenuhi uncle-uncle India yang asik mengobrol sambil makan.  Seru!


2.       Main kemanapun, harus berani coba makanan yang belum pernah kita temui.  Yang paling saya suka di KL, tentu saja teh tarik dan roti canai dan pratha, dimakan dengan cocolan kuah kari, huaaa.. enaaakkk.. >.<

3.       Berkunjung ke Batu Caves yang jaraknya seperti Jakarta – Bogor, kemudian naik sampai ke puncaknya.  Batu Caves sebenarnya kuil pemujaan untuk dewa Hindu, dan disana ada patung dewa raksasa yang sangat iconic.  Nah, dikaki patung itu, ada tangga yang puanjaaaaannng menuju gua diatasnya.  Kami bertiga – saya, Vira, dan Indah- bertekad untuk naik sampai ke puncak.  Tapi sungguh perjalanan tak mudah kawan.  Maka benarlah yang dikatakan “Stairway to Heaven, Highway to Hell.”  Sungguh perjalanan ke surga tidak mudah.  Kami yang masih muda saja entah berapa kali harus berhenti untuk tarik napas dan istirahat.  Tapi begitu sampai diatas terbayarlah semuanya,  di dalam gua ada kuil Hindu yang masih digunakan untuk beribadah.  Yang kurang nyaman hanya ratusan monyet yang mengiringi perjalanan dan bau-bau yang menyertai, hehe..  Dan saat kami hendak turun, kami berpandangan terlebih dahulu, saling menguatkan tekad dan semangat, dan menghilangkan dorongan untuk menggelinding saja sampai ke bawah XD


4.       Naik kereta gantung di Genting Resort.  Sumpeeee itu kereta gantung tingginyaaaaaa… jujur saja saya takut ketinggian, walaupun kalau naik pesawat saya tidak takut karena saya yakin itu aman, justru yang lebih menakutkan yang kecil-kecil seperti kereta gantung atau bianglala.  Dan kereta gantung ini naiiiiiiikkkkk terus sampai ke puncak berkabut.  Walhasil saya dan tante Ida sibuk komat kamit baca doa sambil berpegangan, sementara Vira sibuk foto-foto pemandangan sambil berdiri. -__-  But it was fun.  Kalau tak dicoba kan ga bakal tau.



5.       Berkeliling KL naik bis Hop On Hop Off.  Dijamin puas berkeliling dengan double decker berkeliling KL, bisa berhenti di setiap halte, puter-puter sambil foto-foto, naik lagi ke bis, lanjut lagi, begitu terus macam turis. :D


6.       Beli baju India yang dijual di toko-toko India.  Asli saya menyesal cuma beli 2 potong.  Padahal harga disana cuma RM 10, which is kurang lebih Rp 40.000,- dan begitu saya lihat di Thamrin City baju yang mirip-mirip harganya berubah jadi Rp 120.000,- dunia bisnis sungguh kejam (T^T)

7.       Mencoba mengambil foto diri di Twin Tower.  Oke, it might looks easy, tapi kami membutuhkan kurang lebih setengah jam untuk keker sana-keker sini, dengan posisi berdiri – miring-duduk-jongkok-berdiri dekat-berdiri jauh-berdiri di pojok-berdiri di seberang kolam-sedikit nungging-intinya semua posisi sudah dicoba- supaya dapat angle yang pas yang bisa membingkai kami ditengah dengan menara yang kelihatan sampai ke puncak.  Dan ternyata posisi yang pas adalah…. Silakan dicoba sendiri supaya lebih berkesan! (>0<)



Oya, satu yang paling menarik adalah baju yang dipakai wanita Melayu disana.  Karena Malaysia adalah negara Islam, kebanyakan muslimah disana memakai baju kurung model sederhana sepanjang lutut-bahkan betis- dengan bawahan rok lurus atau rampel kecil-kecil.  Motifnya juga sederhana, kalau tidak polos ya kembang-kembang kecil, dipadu dengan jilbab sederhana.  Persis seperti baju Kak Ros di Ipin Upin.  Baju yang kalau di Jakarta pasti bakal dibilang “lo mo kondangan?” padahal disana mereka pakai baju itu ke kantor, ke sekolah, bahkan jalan-jalan di mall, dan terlihat sangat anggun dengan pembawaan yang santun.  Melihat mereka jadi sedikit malu, dan akhirnya sekarang bertekad “kalau beli baju, panjangin sedikit ah, biar ga malu dan ga kalah sama tetangga” J

Jumat, 27 Juni 2014

A different side of the city: Singapore.


Few years ago, travelling to another country was just a b*llsh*t dream for me.  That it was only a dream in my highest imagination.  That I never imagined it would become true.  But it did.  It was all started when my friend, Vira, asked me if I want to join her to a trip to KL because she got a promo ticket, and I just said I would.  I thought my first destination abroad will be KL, but then when my sister heard that we’d travelling to KL –me and Vira -  she envied us and then asked me to go to Singapore, and of course I said I would, again.  So then I got 2 plans abroad in October 2013 and February 2014, and it was so much exciting.

So my first trip changed to Singapore then.

I remember the scene from The Hunger Games movie, when Katniss and Peeta from district 12 was seeing Capitol for the first time, when they saw everything in amazement, and that’s exactly how I felt when I came to Singapore.


Sebenarnya sih keadaan Singapura dan Jakarta secara iklim tidak jauh berbeda.  Secara penduduk juga sama dengan Jakarta dengan masing-masing keragaman yang dimilikinya.  Namun harus diakui kalau pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana publik di Singapura sudah jauh diatas Jakarta.  Apalagi sarana transportasinya.  Singaporean yang mengendarai motor atau mobil pribadi hanyalah mereka yang masuk golongan kelas atas, karena pajak kendaraan dan biaya parkir yang tinggi.  Sisanya, lebih memilih transportasi publik.  Jalur MRT dan bus yang menghubungkan seluruh kota dengan tarif terjangkau dan jadwal yang reliable menjadi alasan untuk lebih memilih menggunakan transportasi massal ini.


Dan satu hal lagi yang mengagumkan dari Singaporean adalah ketertiban mereka dalam segala hal.  Yah wajar saja sih karena di setiap sudut ada CCTV dan ancaman denda yang lumayan mahal untuk setiap pelanggaran.  Memang kehidupan mereka jadi seperti terlihat monoton dan seperti robot, but I prefer order than chaos.  And when I was there, ada beberapa hal menarik yang saya temui dan mungkin harus diketahui jadi kalau suatu saat kalian kesana, kalian tidak akan terlihat “Indonesia banget”.

1.        Singaporean use escalator in 2 lines/2 sides.  The left side is for those who prefer to stand and enjoy the escalator.  While the right side is for those who prefer to walk.  Jadi, jangan berlaku seperti saat di Indonesia ketika naik escalator dengan teman dan kalian berdiri bersisian dan hanya diam menikmati pemandangan sambil mengobrol. 

2.       Ketika naik kendaraan umum, khususnya MRT, mereka yang ingin naik tidak berdiri di depan pintu, tetapi di kedua sisi pintu.  Jalan di depan pintu hanya untuk yang turun.  Bandingkan dengan adu otot yang terjadi saat mau naik Commuter Line di Jakarta.  Sungguh saya merasa seperti orang barbar.

3.       Tidak ada makan/minum didalam MRT!

4.       Young Singaporean prefers to stand inside the MRT, even if the seats are empty, even if the seats are not in the priority area.  They might wear something weird, but they know how to prioritize the priority people.

5.       In fast food restaurant, when you have finished your meal, you should take the tray and throw the trash in the trash bin, then put the tray in its place (usually beside the trash bin).  Never leave your trash behind!

6.       The toilets are dry toilets.  They rarely use water, so you should prepare wet tissues.

7.        Singaporean are use to walk.  Jadi walaupun jarak antar halte bus mungkin sedikit jauh, jangan manja, semua orang berjalan kaki dan menikmatinya.  Kalau tidak mau capek atau kepanasan, ya di hotel saja. Dan berjalanlah dengan mengikuti ritme orang-orang disana, karena ritme pejalan kaki di Singapura lebih cepat dari pada pejalan kaki disini yang suka jalan sambil berleha-leha.

And what amazed me most is, many old men and women are still working.  Kakek-kakek dan nenek-nenek yang berjalan saja sudah pelan-pelan, masih bekerja menjadi cleaning service atau pengawas ketertiban di stasiun MRT.  Agak sedikit miris, tapi bangga melihatnya.  Dan saya membaca bahwa setiap lansia memang masih berhak bekerja, dan ada perusahaan yang khusus merekrut mereka, bahkan sebenarnya perusahaan tidak boleh menolak mereka selama mereka masih sanggup dan ada lowongan yang tersedia.  Para lansia itu bekerja dengan beragam alasan, tapi kebanyakan untuk mengisi waktu pensiun dan agar bisa memberi angpau pada cucu-cucunya.  Pemerintah Singapura berpendapat untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian khusus seperti cleaning service,  tidak boleh diserahkan ke anak muda, karena anak muda harus bekerja di bidang lain yang bisa ikut membangun bangsa.  Dan ternyata ada kisah mengharukan di balik kesempatan bekerja dan penghargaan bagi para lansia ini, you can find the link’s story here

Memegang kata-kata bos saya, Bu Sanni, “Daripada membeli benda mahal-mahal yang ujung-ujungnya bakal rusak juga, mending kamu beli pengalaman, kalau pengalaman bakal diingat terus.  Dan menurut saya,, untuk sekali seumur hidup setidaknya, kamu harus coba jalan-jalan keluar negeri, supaya tau kehidupan yang berbeda di luar sana, ngga akan rugi, walaupun uang kamu habis dan tabungan sisa 100 ribu, tapi kan orang-orang ngga bakal tau juga.”   Keren ya!



Jumat, 23 Mei 2014

Doing Fine


I keep telling myself that I'm fine

That everything is  going to be just fine

Because that's the only thing I can do

hopes, 

expectations,

efforts, 

reality.

For sometimes they just don't appear like what you dream of,

but you'll gonna be just fine after all.

Selasa, 20 Mei 2014

Obituari untuk Pak Tommy

Saya masih ingat perkenalan dengan Pak Tommy.  Saya dan teman-teman seangkatan saat itu ditugaskan di Balikpapan.  Entah berapa kilometer jauhnya dari rumah saya di Depok.  Terbuang di Kalimantan, di tempat pertama saya bekerja, tentu selain merasa excited, pasti juga terasa homesick, bingung, stress menghadapi pekerjaan, dan beragam perasaan lainnya. Pak Tommy lah yang membawa cerita tentang dirinya yang juga mengalami hal yang sama bertahun-tahun sebelumnya, dan menciptakan suasana yang penuh canda agar kami melupakan bahwa kami sedang jauh dari rumah.



Kami mengenalnya sebagai sosok yang amat baik, rendah hati, low profile yang membuatnya mampu bercanda dengan siapa saja, dan tentunya dengan hobi merokoknya yang bahkan bisa membuatnya merokok di dalam ruangan.  Pak Tommy selalu berpembawaan santai dan seperti tanpa masalah.  Tidak pernah bertindak seperti atasan lain yang gila hormat dan suka menyuruh seenaknya.  Bu Tommy, istrinya, pun sangat baik, selalu ramah, penuh senyum, senang bercanda dengan kami, tidak pernah bertindak seperti “ibu pejabat”, dan bahkan saya sangat menyukai anak-anaknya, terlebih Rima, anaknya yang ketiga, yang saat itu sedang lucu-lucunya.  Dan tahun pertama saya berada di Balikpapan pun terasa seperti di rumah sendiri, dan saat Pak Tommy dipindahtugaskan ke Jogja, mulailah orang-orang baik mengikutinya pergi dan rasanya “rumah” tak lagi sama.



Saya menulis ini, karena Pak Tommy juga, yang walaupun sudah tidak satu tempat kerja, tetapi masih suka menanyakan kabar kami lewat facebook walau hanya sekedar ‘say hi’, dan yang paling saya ingat adalah saat Pak Tommy menanyakan tulisan-tulisan kecil saya, dan anjurannya agar saya terus menulis.  Saya, yang menulis ala kadarnya saja, sangat tersanjung membacanya, dan berjanji untuk terus menulis.  Dan akhirnya hari ini saya menulis khusus untuk Bapak, walaupun tidak pernah terbayang yang akan saya tulis adalah obituari Bapak.


Semoga Bapak tenang disana ya Pak, dan mendapat balasan atas kebaikan-kebaikan yang pernah Bapak lakukan, dan semoga istri dan anak-anak Bapak senantiasa diberikan kekuatan dan kesabaran sepeninggal Bapak.  Saya pun teringat kata-kata orang-orang terdahulu, bahwa orang-orang baik memang selalu dipanggil lebih dulu, karena Allah lebih menyayangi mereka.




“Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang.  Seperti dunia dalam pasar malam.  Seorang-seorang mereka datang dan pergi.  Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana” (Dunia dalam Pasar Malam – Pramoedya Ananta Toer)

Senin, 12 Mei 2014

Faith

Waktu SMA dulu, saya ingat mengisi sebuah form dengan pertanyaan :

Menurut kamu, iman itu apa?

Dan kemudian saya menjawab, iman itu seperti tali layang-layang, tipis, kuat, membawa kita melihat tempat tinggi, tapi tetap menahan kita untuk tidak terbang lepas, tentu kita adalah layang-layangnya.

Lalu kalau sekarang saya mendapat pertanyaan yang sama, saya akan menjawab,

Menurut saya, iman itu, saat kamu memegang dada kirimu dan merasa takjub akan detak jantung yang terasa begitu ritmik, lebih indah dari simfoni Mozart atau Beethoven nomor berapapun, terus berdetak tanpa terlihat dirigen-nya, tapi kamu percaya ada dirigen yang luar biasa hebat sampai menciptakan ritmik seperti itu dalam milyaran tubuh manusia.

Menurut saya, iman itu saat kamu memandangi langit dan mendapati bintang-bintang diam bersinar di tempatnya, tanpa kamu merasa khawatir mereka akan jatuh menimpamu -yah walaupun memang bisa- karena ada yang menahan mereka untuk tetap beredar di garis edarnya masing-masing. 

Menurut saya, iman itu saat kamu bisa merasakan tetesan hujan -yang ternyata air tawar, bukan air asin, apalagi air asam- padahal hujan itu dari air laut yang menguap, yang seharusnya akan terasa asin.  Dan kamu bersyukur bahwa hujan yang turun hanya rintik-rintik air, bukan datang dalam rintik-rintik bijih besi atau selongsong peluru.


Menurut saya, iman itu berarti terus melangkah, walaupun kamu tidak tau apa yang ada di depan sana, kamu hanya meyakini bahwa segelap apapun, pasti langkahmu akan menjejak di tanah, dan mungkin kamu akan menemukan matahari, atau sinar bulan, atau cahaya lilin, kunang-kunang, atau hanya cahaya fluorescent seperti sticker glow in the dark bentuk bintang-bintang yang biasa kamu tempelkan di dinding kamar, yang akan menerangi jalanmu, sedikit demi sedikit.


Lalu, kalau ada rasa percaya seperti itu, apa perlu lagi agama?


Ya itu sih terserah kalian,


Tapi saya percaya, kalau agama yang akan memberikan batasan-batasan mengenai apa yang kalian percayai.


Lalu, kalau misalnya ada orang lain yang menetapkan batasan yang berbeda, dan bilang kalau kalian melewati batasannya, terus apakah lantas kalian akan saling menghina satu sama lain?


Itu terserah kalian juga.


So let it be.






Standar Sumbangan

Semua bermula saat kami – saya dan teman-teman di kantor – ngobrol selepas solat.  Dan wajarnya obrolan wanita yang berpindah-pindah topik pembicaraan, berpindahlah kami ke topik mengenai sumbangan untuk kado ulang tahun.

Dan tiba-tiba seseorang berujar “iya kalo sumbangan gitu gw suka ngeliatin isi amplop gedenya, masa ya, ya ampun padahal kita di kantoran, tapi ada aja gitu uang seribuan..”

And in my head I could hear a witch sound screaming like “WHAAATTTSSS???”

Bukan karena ikut kaget mendengar ada uang seribuan, tapi kaget karena MASIH ada orang yang bilang begitu. Hari gini. Tahun 2014.  Di mana Pluto sudah bukan lagi planet, dan bapak-bapak ceking model bokap gueh mo jadi presiden?? 

Maksudnya, oh come on..

Buat apa coba nyumbang 500 ribu kalo disebut-sebut, buat apa nyumbang sejuta kalo ga ikhlas, mending nyumbang seribu kan tapi ikhlas, ditambah doa ikhlas dari orang-orang yang baik.  Lagian, kalopun ada yang nyumbang seribu juga wajar kan, siapa tau yang ngasih seribu itu lagi bener-bener susah, dari yang gajinya pas-pasan misalnya, dan uang seribu itu mengurangi jatah makan siangnya hari itu.  Ok I might sound naïve, I might sound as bad as her because I spread her behavior, but forgive me, that conversation disturbed my head ever since, and I need to spit it out here.

And you know what I said to her?

“Lho, siapa tau dia nyumbang 51ribu, atau 101ribu, karena dia males aja megang seribuan, ato ngotor-ngotorin dompetnya, buat apa disimpen kalo ga dipake juga buat bayar angkot ato bayar parkir, udahlah kasih aja sekalian, gitu pikirnya.”


And her expression was like I just slapped her face with money.  And did I satisfy? Of course I did. 

Kamis, 17 April 2014

diffuse

Aku melihatmu mencintainya.

Sementara dia yang kau cintai memberikan hatinya untuk seseorang yang lain.

Orang yang dia cintai melimpahkan cintanya pada seseorang yang lain lagi

Dan titik-titik perasaan ini akan terus menyebar, tanpa pernah terhubung satu dengan yang lainnya.

Tak bisakah kita menjadikannya sedikit lebih sederhana,

Karna walaupun kutau dia mencintaiku,

Tapi aku mencintaimu.

Jumat, 14 Maret 2014

The Antagonist

Saya sudah lama tahu, 
bahwa dalam sebuah cerita, hanya akan mengisahkan pemeran protagonis saja.
Pemeran utama. 
Bagaimana kehidupannya, bagaimana masa lalunya, bagaimana cerita cintanya, dan bagaimana semua akan berakhir bahagia. 

A perfect happy ending.

Tidak ada yang akan menceritakan bagaimana akhir kisah dari pemeran antagonis.
Lebih banyak yang menceritakan bagaimana akhirnya pemeran antagonis mati akibat kejahatannya sendiri.
Tapi antagonis sendiri kan tidak selalu jahat, bukan? 
Antagonis sejatinya adalah tokoh yang menciptakan konflik dengan sang protagonis. 
Antagonis yang akan membuat sang protagonis berjuang sampai mengeluarkan segenap kekuatan yang ia tidak pernah sadar ia memilikinya.
Lalu, apakah antagonis tidak berhak untuk bahagia? Apakah ia tidak berhak dicintai and have a happily ever after life seperti protagonis? Apakah ia harus selalu mengalami nasib tragis di akhir cerita? Apakah ia akan selalu mendapat sumpah serapah penonton?

Semua pertanyaan pembelaan  muncul di benak saya. Tapi kemudian tiba-tiba terlintas jawabannya: 

"Ah benar, ini kan bukan kisah sang antagonis.  Mereka akan memiliki kisahnya sendiri dimana mereka akan menjadi pemeran utamanya."

#terinspirasi sosok antagonis di drama The Heirs, Choi Young Do, yg diperankan dengan sangat indah sampai-sampai saya bisa merasakan perasaannya yang begitu dalam. And yes, I would love to be the audience's enemy just to be on the same side of him.


Senin, 20 Januari 2014

27 and Proud



I’m 27 and I’m proud of it.

Agak heran sih kalau beberapa orang merasa malu kalau ditanya umur, padahal menurut saya sih biasa aja deeh..malah terasa keren aja sudah bisa melewati hidup sampai usia kita saat ini, ya kan..
Dan mungkin banyak wanita yang mulai merasa was-was akan banyak hal saat sudah memasuki usia 27, I can’t say I never think about it, I do think a lot, but it kinda wasting time if we just thinking and worrying about something that might be happen, but there’s also a fat chance that those things are might not be happen.  So why don’t we just looks good, feels good, and doing good things.  I believe if we always keep beautiful things inside our mind and our heart, we’re gonna be effortlessly beautiful. 

I do feel blessed to have such a life until now, it might not be perfect and easy like anyone else’s, it’s kinda hard sometimes, but I think I wouldn’t be like I am right now if I never feel that difficulties.  And it’s also wonderful to realize that I have good –yet weird- friends, great sisters, unusual parents, and abnormal life that always make me laugh at the end of the day. 

And in my 27 years of life now, I proudly announce that I still do these –so called silly- things:

1.       Ngefans berat sama Idol Group JKT48 karena lagu-lagu mereka yang bersemangat ditambah dengan dance yang bikin tambah semangat (lagu River-nya cocok banget buat jadi soundtrack pagi hari, dan lagu Yuuhi wo Miteiruka-nya cocok banget untuk mengakhiri aktivitas di sore hari).  Okay, it’s kinda freak I know, dengan lagu terjemahan yang mungkin terdengar aneh pertama kali, tapi lupakanlah soal tata bahasa dan dengarkan saja maknanya, it sounds cool actually.  Nggak usah dipikirin juga sih mereka lipsing atau ngga, tapi setiap ngeliat performnya tu rasanya pengen ikutan mas-mas yang nonton rame-rame bawa lightsticks warna-warni sambil teriak “OY – OY – OY” !(>.<)!  !(>o<)!  !(>3<)!

2.       Selalu ngga sabar nunggu manga Yotsuba & ! muncul di situs manga online (karena bukunya susaaaaah dan lammmmaaaa banget keluarnya) dan selalu berakhir dengan cekikikan sendiri tiap baca chapter terbarunya, berlaku juga sama komik Hai Miiko yang juga super lama keluarnya.  Dan dua komik itu memang segmentasinya untuk anak-anak, walaupun boleh dibaca semua umur ya..tapi rasanya saya selalu mendapat lirikan aneh tiap cekikikan ngga berenti-berenti waktu baca 2 komik itu, but who da*n cares? XD

3.       Pernah jilatin sisa adonan kue bolu / brownies di mangkuk mixer ngga?  Kalo ngga pernah, asli rugi! XD  sisa kocokan mixer dari telur, terigu, gula, mentega, dan coklat yang masih menempel di mangkuk sama di spatula setelah adonan itu dituang ke loyang, itu rasanya ajiiiibb b(^-,^)d  cobalah sekali-kali!

4.       Ngga pernah gengsi ambil “potongan gengsi”.  Tau dong kalau ada makanan di kantor –di rumah juga sih - pasti sisa potongan terakhirnya pada ragu-ragu untuk mengambil.  Entah karena takut dibilang rakus, malu karena ketauan doyan, atau males bawa piringnya ke dapur.  Oke pemirsa, kalau saya suka makanannya, saya akan ambil potongan gengsi itu tanpa banyak cakap, dan bawa piringnya ke dapur, yah kalo yang ngelirik sambil mupeng sih itu deritanya..siapa suruh pake gengsi.. XD

5.       Sering lupa kalau lagi mencari suatu kata di kamus, masalahnya, yang saya lupakan ya kata yang dicari itu.  Biasanya terjadi kalau menemukan kata-kata yang tidak saya tahu artinya, or some strange words just pop inside my head, bergegaslah saya membuka kamus, tetapi karena mata saya keburu menangkap kata-kata yang lain – apalagi kalau pakai Oxford Advanced Learner’s yang pembahasannya banyak plus ada sinonimnya – pasti ada jeda 5-10 menit sampai saya sadar kalau saya sedang mencari sesuatu karena saya keburu keasikan membaca kata-kata yang lain, dan akan menghabiskan 5 menit setelahnya berusaha mengingat-ingat kata apa ya yang tadi saya lagi cari.. ahahaha.. XD  I guess I’m bad at handling distraction :p
 
6.       Dengan hasil IQ test untuk kemampuan spasial rata-rata hanya 50%, dapat dipastikan itulah penyebab saya sering nyasar sodara-sodara!  I am so bad in remembering directions, terutama untuk jalan yang tidak saya lewati setiap hari.  Bahkan kalau hanya mengambil rute terbalik dari yang biasa saya jalani, rasanya pusiiing sekali, it may sounds ‘lebay’ for you, but it’s true.  Kalian mungkin ga akan pernah paham bagaimana ruwetnya bayangan jalanan dan gedung-gedung berbentuk 3D berputar-putar  di dalam otak saya kalau saya lagi nyasar.  So pleaseee..jangan ajak saya main jauh-jauh yaa.. (>o<)

7.       Kalau kalian menerima uang kembalian yang ternyata kurang dari abang angkot, apa yang akan kalian lakukan? Apakah kalian akan diam saja dan mengikhlaskan? 

Kalau saya, tangan saya akan diam terjulur sambil menatap abangnya dan berujar tenang “kurang Bang”.  Ini bukan soal keikhlasan Bung, ini adalah soal hak dan kewajiban.  Coba ingat-ingat, kalau kita bayar kurang 200 perak aja, abangnya pasti teriak-teriak ngomel, nah kalau kita dikasih kembalian tapi kurang, ya menurut saya kita berhak dong minta juga, ya tapi ngga usah pake teriak-teriak ngomel juga sih, nanti kelas kita sama dong kayak abang angkotnya.  Hak dan kewajiban harus dijalankan sesuai dengan proporsinya masing-masing.  Pas, tidak kurang – tidak lebih.  Jika kurang dan atau lebih, rasanya ‘ikhlas’ itu cuma segelintir orang-orang terpilih saja yang bisa benar-benar melakukannya.

8.       Salah satu teman saya di kantor bilang kalau saya ini seperti Saipul Jamil, karena kalau dia menyanyikan sebaris lirik saja, saya pasti akan segera menyambung liriknya sambil berpose ala karaoke dengan wajah sendu atau dengan dance-dance yang cocok dengan lagunya (baca:goyang).  Yah, apa boleh buat, rasanya gatal kalau tau liriknya tapi tidak ikut bernyanyi.  And I don’t know why I just remember lyrics, in fact, if I could remember lessons like I remember lyrics, I would have been a geeeenius.  Tidak usah dibayangkan suara saya sebagus apa, it’s better for you not to hear the truth.  XD

Ah, kalau kalian mulai bingung kenapa saya membongkar aib sendiri, saya hanya ingin kalian tahu pendapat saya, kalau melakukan sesuatu yang kita sukai, selama tidak merugikan orang lain, bukanlah hal yang kekanak-kanakan.  Seiring pendewasaan kita karena pengalaman-pengalaman dalam kehidupan, kita akan tahu kapan dan dimana waktu yang tepat untuk menunjukkannya.  And we usually show “the truly me” if we’re with people we comfortable with, right? So if you see me doing those things, that means I feel comfortable enough with you.

And I think, to be grown up doesn’t mean to lose our self and being a fake person, someone that definitely ‘bukan gue banget’. 


Senin, 13 Januari 2014

We Might As Well Be Strangers


I learnt a new phrase in Structure Class last Saturday. 

We might as well do something:  we should do it because there is no better alternative.  There is no reason not to do it.

Suddenly I remember one song from British band, Keane, we might as well be strangers.  Which I just realized the meaning, we should become a stranger once more because there is no better alternative, there is no reason not to do it.

It’s a confusing thing, love is.

You start from two strangers, then you realize there’s more than an ordinary feeling inside your heart, and then you become someone that so obsessive, you want that someone be yours forever, but then, when something wrong happen, both of you become strangers once more.


It’s also confusing to see some people around us, that deals with divorce, if they were so in love before, why should they separated as enemy?  Why can’t they separate as good friends, remembering they had spent much time together? I wonder if it hurts, but it must be very hurt. 

Not only divorcement, I bet two lovers that separate because some reasons also feel hurt.  To become strangers once more means to forget anything special between you two.  Letting go of feelings and memories, that must be the hardest part of holding on after the break up. But once more, we might as well be strangers, we should become a stranger once more because there is no better alternative, there is no reason not to do it, the destiny doesn’t write our name to be together, it only wrote that we should meet and then go back into our own path.

Love, might be hurt sometimes.  But then we decide who worth the hurt and the fight.   And we also decide, do we worth for the hurt and the fight?

It’s a confusing thing, love is.


I don't know your face no more

Or feel your touch that I adore
I don't know your face no more
It's just a place I'm looking for 
We might as well be strangers in another town
We might as well be living in a different world
We might as well
We might as well
We might as well 



I don't know your thoughts these days
We're strangers in an empty space
I don't understand your heart
It's easier to be apart 



We might as well be strangers in another town
We might as well be living in a another time
We might as well
We might as well
We might as well be strangers
Be strangers
For all I know of you now
For all I know of you now
For all I know of you now
For all I know

We Might As Well Be Strangers - Keane