Come in with the Rain

Kamis, 18 April 2013

Fraction #1



“Rei”

“Hmm..” aku menoleh dari layar televisi saat mendengar Eri memanggilku.

“Kamu ngga pingin seperti di film-film kesukaan kamu itu?” Eri bertanya sambil menatapku serius.

“Apa sih Eriiii..yang jelas dong pertanyaannya..” Aku menjawab sambil mencubit lengannya yang tidak lepas memeluk bantal sofa.

“Maksudku, kamu ngga pingin seperti wanita normal lainnya? Sudah cukup umur, pekerjaan mapan, cantik, pintar, yah yang jelas kamu ngga malu-maluin lah kalau diajak ke resepsi pernikahan.. aduh..aduh..Rei..ahahaha..”

Aku tidak membiarkan Eri menyelesaikan kalimatnya, bertubi-tubi aku memukulnya dengan bantal sofa yang semula aku peluk.

”Reiii..ahahaha..sudah dong..”

”Habisnya kamu kok seperti menghina begitu sih kalimatnya?”Aku menjawab sambil merengut.

”Loh bagian mana yang menghina sih? Aku kan justru memuji.” Rei membela diri masih sambil tertawa terengah-engah.

”Memangnya kamu pikir kalimat ’yah paling ngga kamu ngga malu-maluin diajak ke resepsi pernikahan’ itu bukan menghina namanya? Nada suara kamu itu lho yang nyebelin.” Jawabku sambil menirukan gaya bicaranya.

”Kamu ngga pingin cari laki-laki yang baik untuk jadi suami kamu?” Tanya Eri dengan nada dan raut wajah serius, kali ini aku tahu dia tidak sedang meneruskan candaannya.

Aku menghela napas panjang dan kembali bersandar di sofa sambil memeluk bantal.

”Kirain mau nanya apaaaa gitu.. padahal tadi adegan filmnya lagi seru.”

Eri tiba-tiba mengambil remote televisi di depan meja dan menekan tombol “Pause”. 

Oke, this will gonna be another long conversation.

“Jadi begini ya Eri, stereotype siklus hidup manusia normal itu adalah lahir – tumbuh besar – sekolah wajib 9 tahun – kuliah – cari kerja – cari pacar – menikah – beli rumah minimalis di perumahan pinggir kota – beli mobil MPV – punya anak – punya cucu – pensiun – menunggu kematian.  Masalahnya, waktu yang dibutuhkan masing-masing manusia untuk melewati fase masing-masing kan tidak sama.  Nah, anggap aja aku sedang berada di fase cari pacar itu, but maybe it just take longer than others, jelas kan?” tegasku.

“Apa kamu sungguh-sungguh mencari? Untuk ukuran orang yang mencari pendamping hidup kamu terlihat seperti tidak melakukan apa-apa?” Eri mencecarku dengan pertanyaan.

“Lalu, kalau aku harus ribut kesana kemari, apa kabar pepatah ‘kalau jodoh tak lari kemana’?” balasku.

“Itu berlaku di era orde lama Rei, bahkan millennium pun sudah berlalu lebih dari 10 tahun yang lalu dan kamu masih berpegang pada pepatah itu?”  Eri tersenyum mengejekku.

“Lalu, kamu menyuruhku jadi perempuan yang kamu sebut ‘kelebihan hormon’ itu?”  Aku bertanya sambil memasang wajah merengut andalanku setiap kali berdebat dengannya.

“Memangnya kriteria idaman kamu tuh seperti apa sih?”  tanya Eri sambil mencubit pipiku.

“Aku ngga tau.  Tidak punya kriteria khusus juga.  Aku akan tahu apakah aku ingin menghabiskan sisa hidupku dengan orang itu atau tidak saat aku bertemu dengannya.”  Jawabku.

“Terus, kamu sudah pernah bertemu orang seperti itu?”

Aku hanya bisa menatap wajah Eri.

“Mungkin  masalahnya ada di hati kamu.  Apakah kamu mau membukanya untuk orang lain atau tidak, dan selama aku mengenalmu, kamu selalu bersikap dingin dan membentengi diri terhadap laki-laki yang berusaha mengenalmu lebih jauh, padahal mereka jelas-jelas berusaha mendekati kamu.  Just give them a chance, maybe one of them is destined to be with you” dan Eri pun menekan tombol ‘Play’ melanjutkan film kami yang tertunda.

Aku hanya bisa terdiam, merenungi kata-kata yang baru saja Eri ucapkan.  Sudah Eri, aku sudah bertemu orang itu.  Dan setiap hari aku merasa berdosa karena mengharapkan takdir berbelok dan menjadikan orang itu ‘the one that destined to be with me’ seperti katamu.  Setiap hari aku merasa bersalah karena berharap waktu terulang dan mempertemukan aku dengan orang itu beberapa tahun lebih awal.  Setiap hari aku merasa menjadi manusia paling keji, karena selalu berkata dalam hati

“Tidak bisakah orang itu kamu, Eri?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar