“Rei”
“Hmm..” aku menoleh dari layar televisi saat mendengar Eri memanggilku.
“Kamu ngga pingin seperti di film-film kesukaan kamu itu?” Eri bertanya
sambil menatapku serius.
“Apa sih Eriiii..yang jelas dong pertanyaannya..” Aku menjawab sambil
mencubit lengannya yang tidak lepas memeluk bantal sofa.
“Maksudku, kamu ngga pingin seperti wanita normal lainnya? Sudah cukup
umur, pekerjaan mapan, cantik, pintar, yah yang jelas kamu ngga malu-maluin lah
kalau diajak ke resepsi pernikahan.. aduh..aduh..Rei..ahahaha..”
Aku tidak membiarkan Eri menyelesaikan kalimatnya, bertubi-tubi aku
memukulnya dengan bantal sofa yang semula aku peluk.
”Reiii..ahahaha..sudah dong..”
”Habisnya kamu kok seperti menghina begitu sih kalimatnya?”Aku menjawab
sambil merengut.
”Loh bagian mana yang menghina sih? Aku kan justru memuji.” Rei membela
diri masih sambil tertawa terengah-engah.
”Memangnya kamu pikir kalimat ’yah paling ngga kamu ngga malu-maluin diajak
ke resepsi pernikahan’ itu bukan menghina namanya? Nada suara kamu itu lho yang
nyebelin.” Jawabku sambil menirukan gaya bicaranya.
”Kamu ngga pingin cari laki-laki yang baik untuk jadi suami kamu?” Tanya
Eri dengan nada dan raut wajah serius, kali ini aku tahu dia tidak sedang
meneruskan candaannya.
Aku menghela napas panjang dan kembali bersandar di sofa sambil memeluk
bantal.
”Kirain mau nanya apaaaa gitu.. padahal tadi adegan filmnya lagi seru.”
Eri tiba-tiba mengambil remote televisi di depan meja dan menekan tombol
“Pause”.
Oke, this will gonna be
another long conversation.
“Jadi begini ya Eri,
stereotype siklus hidup manusia normal itu adalah lahir – tumbuh besar –
sekolah wajib 9 tahun – kuliah – cari kerja – cari pacar – menikah – beli rumah
minimalis di perumahan pinggir kota – beli mobil MPV – punya anak – punya cucu –
pensiun – menunggu kematian. Masalahnya,
waktu yang dibutuhkan masing-masing manusia untuk melewati fase masing-masing kan tidak sama. Nah, anggap aja aku sedang berada di fase
cari pacar itu, but maybe it just take longer than others, jelas kan ?” tegasku.
“Apa kamu sungguh-sungguh
mencari? Untuk ukuran orang yang mencari pendamping hidup kamu terlihat seperti
tidak melakukan apa-apa?” Eri mencecarku dengan pertanyaan.
“Lalu, kalau aku harus
ribut kesana kemari, apa kabar pepatah ‘kalau jodoh tak lari kemana’?” balasku.
“Itu berlaku di era orde
lama Rei, bahkan millennium pun sudah berlalu lebih dari 10 tahun yang lalu dan
kamu masih berpegang pada pepatah itu?”
Eri tersenyum mengejekku.
“Lalu, kamu menyuruhku
jadi perempuan yang kamu sebut ‘kelebihan hormon’ itu?” Aku bertanya sambil memasang wajah merengut
andalanku setiap kali berdebat dengannya.
“Memangnya kriteria idaman kamu tuh seperti apa sih?” tanya Eri sambil mencubit pipiku.
“Aku ngga tau. Tidak punya kriteria khusus
juga. Aku akan tahu apakah aku ingin
menghabiskan sisa hidupku dengan orang itu atau tidak saat aku bertemu
dengannya.” Jawabku.
“Terus, kamu sudah pernah bertemu orang seperti itu?”
Aku hanya bisa menatap wajah Eri.
“Mungkin masalahnya ada di hati
kamu. Apakah kamu mau membukanya untuk
orang lain atau tidak, dan selama aku mengenalmu, kamu selalu bersikap dingin
dan membentengi diri terhadap laki-laki yang berusaha mengenalmu lebih jauh,
padahal mereka jelas-jelas berusaha mendekati kamu. Just
give them a chance, maybe one of them is destined to be with you” dan Eri pun
menekan tombol ‘Play’ melanjutkan film kami yang tertunda.
Aku hanya bisa terdiam,
merenungi kata-kata yang baru saja Eri ucapkan.
Sudah Eri, aku sudah bertemu orang itu.
Dan setiap hari aku merasa berdosa karena mengharapkan takdir berbelok
dan menjadikan orang itu ‘the one that destined to be with me’ seperti
katamu. Setiap hari aku merasa bersalah
karena berharap waktu terulang dan mempertemukan aku dengan orang itu beberapa
tahun lebih awal. Setiap hari aku merasa menjadi
manusia paling keji, karena selalu berkata dalam hati
“Tidak bisakah orang itu kamu, Eri?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar