Come in with the Rain

Senin, 22 April 2013

Fraction #2


Their First Meeting

Orang-orang ini terkadang memuakkan.  Tidak bisakah mereka jujur saja kalau mereka hanya ingin uang.  Untuk apa lagi mereka berpura-pura menjadi orang suci kalau ’UANG’ sudah tertulis jelas di kening mereka.  Mungkin begini risiko bekerja di bidang konstruksi.  Seolah-olah proyek yang kami kerjakan adalah lahan meraup uang sebanyak-banyaknya.  Dan lagi-lagi, sebagai anak buah yang tidak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa merutuk dalam hati.  Pagi-pagi sudah membuat orang kesal, rutukku.

”Rei, kamu ada janji meeting ya dengan orang dinas nanti jam 2 siang.  Mereka mau membahas anggaran yang kemarin kita buat.  Aku dengar ada orang dari kantor pusatnya juga yang mau datang, jangan lupa semua data-data yang kemarin aku sudah revisi, ada di atas meja ya.”  Noval, ah, harusnya Pak Noval atasanku mengingatkan tentang janji meetingku hari ini. 

”Aduh pak..kenapa harus saya sih yang menemui mereka, kan masih ada yang lain, saya sudah cukup bertemu klien hari ini.  Dari pagi tadi mereka sudah merusak mood saya Pak dengan permintaan mereka yang aneh-aneh.”  Ujarku sembari merengut.  Entah kenapa hari ini aku merasa malas bertemu orang lagi.  Walaupun itu memang tugasku, tapi rasanya orang-orang yang kutemui hari ini semua membuatku emosi dan merusak mood ku.  Mungkin juga karena aku masih lelah karena perjalananku ke luar kota kemarin.

”Ayolah Rei, yang lain sudah keluar dengan urusannya masing-masing.  Nah karena hari ini giliranmu yang jaga kandang, jadi kamu yang harus menemui mereka.  Karena saya juga ada janji dengan Pemda jam 2 nanti, oke?” Pak Noval berusaha membujukku yang masih merengut.

”Baiklah, tapi traktir aku makan siang dulu, gara-gara emosi aku jadi lapar berat.”  Aku menjawab sambil tersenyum lebar.

”Dasar kamu, yuk deh kita pergi, aku juga lapar.”  Pak Noval pun membereskan dokumennya dan kami berjalan keluar kantor untuk makan siang.

Pak Noval adalah Project Leader untuk proyek kali ini, sedangkan aku bertugas sebagai Project Secretary, sebenarnya usia kami hanya terpaut dua tahun, dan kami pun berasal dari kampus yang sama.  Hanya di kantor saja aku memanggilnya ”Pak”.  Untunglah kami berdua bisa bersifat profesional dan membedakan perilaku kami di dalam dan di luar kantor.  Di luar kantor, Noval adalah sahabatku.

”Jadi, gimana acara perjodohan kamu kemarin?”  Pertanyaan Noval membuatku tersedak makanan.

”Kok kamu tahu?”  Week-end kemarin memang aku pulang ke Jakarta karena mendadak diminta pulang oleh keluarga angkatku.  Dan ternyata mereka telah mengatur perjodohan dengan putra salah seorang teman ayah angkatku. 

”Ya tahu lah.  Kan Ibumu yang tanya ke aku tipe cowok kesukaanmu yang seperti apa.”  Noval berkata dengan memasang wajah tanpa dosa.

”Oh jadi kamu sekarang berkomplot dengan ibuku?” Tanyaku sambil melihatnya sinis.

”Hahaha..kan tidak ada salahnya Rei membantu demi kebaikanmu.  Lagian kamu sih kasih tipe yang abstrak.  A man with passion.  Gimana caranya nemuin orang kayak gitu?  Lebih mudah kalau kamu kasih tipe yang tampan dan gaji 8 digit.”  Noval kembali meledekku.

”Kalau sudah ditakdirkan bertemu, aku pasti bisa bertemu dengan orang yang seperti itu.  Yang dalam pertemuan pertama aku bisa langsung tahu bahwa dia adalah orang yang aku inginkan saat aku menatap ke dalam matanya.”  Jawabku serius.

”Yah terserah kamu saja Rei, asalkan kamu bahagia, walau kamu memilih yang aneh-aneh pun akan aku dukung.”  Noval berkata sambil menghabiskan makanannya.  ”Dan jangan lupa nanti berlaku manis dengan tamu dari dinas pusat ya.  Siapa tau dia orang yang kamu cari.”  Aku kembali teringat janji meeting ku setelah makan siang ini.

Sekembalinya dari makan siang, Noval langsung pergi untuk meeting dengan pihak lain di luar kantor, dan tinggallah aku dengan pekerjaanku beserta janji meeting satu jam lagi. 

Sudah sepuluh menit berlalu dari pukul dua siang, dan belum ada tanda-tanda tamuku datang.  Yah, sepertinya sudah rahasia umum kalau mereka tidak pernah tepat waktu.  Aku meraih ponselku untuk menelpon Pak Dimas, orang yang seharusnya sudah tiba di sini sepuluh menit yang lalu.  Dan aku menoleh ke pintu masuk saat mendengar dering telepon yang asing.

”Rei, maaf telat sedikit.”  Pak Dimas ternyata sudah muncul di belakangku sambil tertawa mengangkat handphone-nya yang berdering dan menampilkan namaku di layarnya.

”Ah, iya tidak apa-apa Pak, baru saja saya mau tanya sudah sampai di mana.  Silakan duduk pak.”  Ujarku sambil menuntunnya ke kursi tamu, saat kusadari ia tidak sendiri.

”Oya Rei, kenalkan dulu, ini temanku dari kantor pusat, dia yang akan mengawasi proyek ini, dan karena aku akan cuti menikah seminggu, jadi kamu akan berurusan dengannya dalam seminggu kedepan.”

Aku mengangkat tanganku untuk berkenalan, dan orang itu pun melakukan hal yang sama.

”Eri.” 

Aku terpaku sesaat.

”Rei.”  sahutku.

”Eri-Rei, bahkan nama kalian senada, jadi pasti kalian bisa bekerja sama dengan baik.”  Pak Dimas bergantian menunjuk kami sambil tersenyum.

Meeting kami sudah berakhir dua jam yang lalu.  Tapi aku masih tertegun dan mengingat setiap detailnya.  Ah, seharusnya kukatakan setiap detail gerakan dan kata-katanya.  Mengingat dengan jelas apa yang kulihat pertama kali di dalam matanya.  Passion.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar