Their First Meeting
Orang-orang ini terkadang memuakkan.
Tidak bisakah mereka jujur saja kalau mereka hanya ingin uang. Untuk apa lagi mereka berpura-pura menjadi
orang suci kalau ’UANG’ sudah tertulis jelas di kening mereka. Mungkin begini risiko bekerja di bidang
konstruksi. Seolah-olah proyek yang kami
kerjakan adalah lahan meraup uang sebanyak-banyaknya. Dan lagi-lagi, sebagai anak buah yang tidak
bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa merutuk dalam hati. Pagi-pagi sudah membuat orang kesal, rutukku.
”Rei, kamu ada janji meeting ya dengan orang dinas nanti jam 2 siang. Mereka mau membahas anggaran yang kemarin
kita buat. Aku dengar ada orang dari
kantor pusatnya juga yang mau datang, jangan lupa semua data-data yang kemarin
aku sudah revisi, ada di atas meja ya.”
Noval, ah, harusnya Pak Noval atasanku mengingatkan tentang janji
meetingku hari ini.
”Aduh pak..kenapa harus saya sih yang menemui mereka, kan masih ada yang
lain, saya sudah cukup bertemu klien hari ini.
Dari pagi tadi mereka sudah merusak mood saya Pak dengan permintaan
mereka yang aneh-aneh.” Ujarku sembari
merengut. Entah kenapa hari ini aku
merasa malas bertemu orang lagi.
Walaupun itu memang tugasku, tapi rasanya orang-orang yang kutemui hari
ini semua membuatku emosi dan merusak mood ku.
Mungkin
juga karena aku masih lelah karena perjalananku ke luar kota kemarin.
”Ayolah Rei, yang lain sudah keluar dengan urusannya masing-masing. Nah karena hari ini giliranmu yang jaga
kandang, jadi kamu yang harus menemui mereka.
Karena saya juga ada janji dengan Pemda jam 2 nanti, oke?” Pak Noval
berusaha membujukku yang masih merengut.
”Baiklah, tapi traktir aku makan siang dulu, gara-gara emosi aku jadi lapar
berat.” Aku menjawab sambil tersenyum
lebar.
”Dasar kamu, yuk deh kita pergi, aku juga lapar.” Pak Noval pun membereskan dokumennya dan kami
berjalan keluar kantor untuk makan siang.
Pak Noval adalah Project Leader untuk proyek kali ini, sedangkan aku
bertugas sebagai Project Secretary, sebenarnya usia kami hanya terpaut dua
tahun, dan kami pun berasal dari kampus yang sama. Hanya di kantor saja aku memanggilnya
”Pak”. Untunglah kami berdua bisa
bersifat profesional dan membedakan perilaku kami di dalam dan di luar
kantor. Di luar kantor, Noval adalah
sahabatku.
”Jadi, gimana acara perjodohan kamu kemarin?” Pertanyaan Noval membuatku tersedak makanan.
”Kok kamu tahu?” Week-end kemarin
memang aku pulang ke Jakarta karena mendadak diminta pulang oleh keluarga
angkatku. Dan ternyata mereka telah
mengatur perjodohan dengan putra salah seorang teman ayah angkatku.
”Ya tahu lah. Kan Ibumu yang tanya
ke aku tipe cowok kesukaanmu yang seperti apa.”
Noval berkata dengan memasang wajah tanpa dosa.
”Oh jadi kamu sekarang berkomplot dengan ibuku?” Tanyaku sambil melihatnya
sinis.
”Hahaha..kan tidak ada salahnya Rei membantu demi kebaikanmu. Lagian kamu sih kasih tipe yang abstrak. A man
with passion. Gimana caranya nemuin
orang kayak gitu? Lebih mudah kalau kamu
kasih tipe yang tampan dan gaji 8 digit.”
Noval kembali meledekku.
”Kalau sudah ditakdirkan bertemu, aku pasti bisa bertemu dengan orang yang
seperti itu. Yang dalam pertemuan
pertama aku bisa langsung tahu bahwa dia adalah orang yang aku inginkan saat
aku menatap ke dalam matanya.” Jawabku
serius.
”Yah terserah kamu saja Rei, asalkan kamu bahagia, walau kamu memilih yang
aneh-aneh pun akan aku dukung.” Noval
berkata sambil menghabiskan makanannya.
”Dan jangan lupa nanti berlaku manis dengan tamu dari dinas pusat
ya. Siapa tau dia orang yang kamu
cari.” Aku kembali teringat janji
meeting ku setelah makan siang ini.
Sekembalinya dari makan siang, Noval langsung pergi untuk meeting dengan
pihak lain di luar kantor, dan tinggallah aku dengan pekerjaanku beserta janji
meeting satu jam lagi.
Sudah sepuluh menit berlalu dari pukul dua siang, dan belum ada tanda-tanda
tamuku datang. Yah, sepertinya sudah
rahasia umum kalau mereka tidak pernah tepat waktu. Aku meraih ponselku untuk menelpon Pak Dimas,
orang yang seharusnya sudah tiba di sini sepuluh menit yang lalu. Dan aku menoleh ke pintu masuk saat mendengar
dering telepon yang asing.
”Rei, maaf telat sedikit.” Pak Dimas
ternyata sudah muncul di belakangku sambil tertawa mengangkat handphone-nya
yang berdering dan menampilkan namaku di layarnya.
”Ah, iya tidak apa-apa Pak, baru saja saya mau tanya sudah sampai di
mana. Silakan duduk pak.” Ujarku sambil menuntunnya ke kursi tamu, saat
kusadari ia tidak sendiri.
”Oya Rei, kenalkan dulu, ini temanku dari kantor pusat, dia yang akan
mengawasi proyek ini, dan karena aku akan cuti menikah seminggu, jadi kamu akan
berurusan dengannya dalam seminggu kedepan.”
Aku mengangkat tanganku untuk berkenalan, dan orang itu pun melakukan hal
yang sama.
”Eri.”
Aku terpaku sesaat.
”Rei.” sahutku.
”Eri-Rei, bahkan nama kalian senada, jadi pasti kalian bisa bekerja sama
dengan baik.” Pak Dimas bergantian
menunjuk kami sambil tersenyum.
Meeting kami sudah berakhir dua jam yang lalu. Tapi aku masih tertegun dan mengingat setiap
detailnya. Ah, seharusnya kukatakan
setiap detail gerakan dan kata-katanya. Mengingat
dengan jelas apa yang kulihat pertama kali di dalam matanya. Passion.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar