Come in with the Rain

Senin, 22 April 2013

Fragment #2


Their First Meeting

Balikpapan, Mei 2002

Panas matahari dan hembusan angin dari laut menyambutku yang baru saja tiba di kota ini.  Masalah pekerjaan memang tidak ada habisnya.  Rencanaku mengambil cuti seminggu bulan ini pun terpaksa kubatalkan karena ada masalah mendadak di perwakilan kami di kota ini.  Walaupun awalnya aku enggan pergi, namun begitu temanku, Dimas, yang bertugas disini menelpon dan menyampaikan rencananya untuk menikah, aku pun mengiyakan.  Kupikir tidak ada salahnya mengundur rencana cutiku untuk membereskan masalah disini, sekaligus untuk menghadiri acara Dimas.

Pekerjaanku di salah satu departemen pemerintahan memang terkadang mengharuskanku melakukan perjalanan dinas keluar kota untuk berkoordinasi dengan kantor perwakilan departemen kami di daerah.  Apalagi jika sedang ada proyek pembangunan seperti ini.  Salah satu pertimbangan atasanku untuk mengirimkanku menjadi pengawas pasti karena aku sudah pernah tinggal di kota ini.  Ya, aku memang tinggal di kota ini sampai tahun lalu.  Setelah melewati masa pra jabatan aku memang langsung ditugaskan di kota ini, dan tiga tahun kemudian aku di mutasi ke ibukota. 

Tiga tahun di kota ini tentu saja membuatku tidak kekurangan teman.  Dimas adalah sahabat baikku selama aku di kota ini.  Kami sama-sama memulai karir sebagai teman seangkatan, hanya saja Dimas belum mendapat kesempatan untuk mutasi.  Tapi rasanya itu bukan masalah besar baginya, buktinya, Dimas menemukan jodohnya di kota ini. 

“Datanglah Eri, kalau kamu sampai tidak datang ke acaraku, aku obrak-abrik rumahmu nanti, hahaha..” Dimas meneleponku dua minggu lalu saat menyampaikan undangannya.

 “Kamu ini Dimas, itu sih bukan mengundang, tapi memaksa, hahaha..tapi rasanya aku memang terpaksa harus datang ke acaramu, aku ditugaskan untuk berkoordinasi dengan kontraktor yang akan membangun jembatan penghubung kota dengan kabupaten” sahutku.

 “Oh jadi kamu yang akhirnya ditugaskan mengawasi, baguslah, berarti kamu harus berbaik-baik denganku Eri, karena aku yang bertanggung jawab di bagian itu”  jawab Dimas.

 “Wah, berarti aku benar-benar sangat amat terpaksa harus datang kesana, ya sudah, jemput aku di bandara ya, pesawatku Minggu depan mendarat jam lima sore di Balikpapan”.  Dimas pun mengiyakan permintaanku dan berjanji menjemputku di bandara.

Aku sudah berdiri di tempat taksi berjejer dengan rapi menunggu penumpang sambil menikmati hembusan angin laut saat telepon genggamku berbunyi. 

“Ya Dimas, dimana kamu? Aku sudah diluar nih”. 

“Aku masih parkir nih, tunggu sebentar ya” jawab Dimas.

Aku menutup telepon dan berdiri menyandarkan tubuhku di tiang kayu.  Bandara ini memang didekorasi dengan ukiran-ukiran kayu khas suku Dayak, tiang-tiang kayu besar dengan ukiran-ukiran indah menjadi ciri khas yang membedakannya dengan bandara lain.  Untunglah hari ini tidak begitu ramai, jadi aku bisa menunggu dengan tenang.

“I could stay awake, just to hear you breathing… watch you smile while you’re sleeping, while you’re far away and dreaming… “  

Aku terkejut mendengar senandung perlahan dari sebelah kiriku.  Rupanya seorang gadis yang juga berdiri bersandar di tiang yang sama denganku.  Sepertinya dia tidak sadar kalau senandungnya bisa kudengar.  Gadis yang menarik, pikirku.  Dengan rambut ikal sebahu yang dibiarkan tergerai di bawah topi kupluknya, sebagian poninya menutupi sebelah matanya yang seolah-olah sedang memandang seseorang di hadapannya.  Rupanya dia sedang mendengarkan musik, aku bisa melihat music player-nya yang terselip di dalam kantung cardigan oranye nya.  Oranye, pilihan warna yang tidak biasa.  Ransel, celana jeans, dan sepatu kets, mungkin dia anak pegawai perusahaan minyak yang kuliah di Jawa dan menghabiskan liburan semester kembali ke rumah, tipikal kebanyakan anak muda di kota ini.

“I could spend my life in this sweet surrender, I could stay lost in this moment forever…”

aku mengenali lagu I Don’t Wanna Miss a Thing dari Aerosmith yang disenandungkannya.  Suara yang lembut. 

“Eri, maaf membuatmu lama menunggu, aku tidak dapat tempat di dekat sini, jadi agak jauh parkirnya”  suara Dimas membuatku mengalihkan pandangan dari gadis itu.

“Ah, alasan kamu Dimas, bilang saja kamu memang telat berangkat kesini” ujarku sambil memeluk sobatku itu.

“Hahaha..separuhnya betul sih, apa kabar kamu?” tanya Dimas. 

“Baik, seperti yang kau lihat, yuk kita berangkat.” Dimas mengambil koper kecil yang kubawa dan menunjukkan arah ke mobilnya.  Aku menoleh sekilas dan tidak kudapati lagi gadis itu disebelahku.

 “Jadi, gimana persiapan pernikahanmu Dim?”

“Yah, ternyata tidak sesederhana yang kubayangkan.  Aku hanya membayangkan kami berdua dengan keluarga masing-masing di depan penghulu, bawa mas kawin, beres.  Ternyata banyak sekali yang harus disiapkan.  Baju, cincin, seserahan, resepsi, kemauan orang tua, kemauan calon mertua, sampai ingin kubawa lari saja calonku supaya tidak repot, hahaha..” Aku ikut tertawa mendengar jawaban dari Dimas. 

“Lalu, kapan kamu cuti? Kok calon pengantin masih sibuk mengurus pekerjaan?” tanyaku.

“Pastinya setelah aku menyerahkan semua pekerjaanku ke kamu Eri” jawabnya sambil tersenyum lebar.

Kami pun sampai di mess departemen yang menjadi tempat tinggal sementara bagi kami yang berasal dari luar kota.

“Kamu yakin mau di mess? Padahal kalau kamu mau di hotel pun tidak apa-apa kan?” tanya Dimas.

“Tidak apa-apa, aku lebih suka disini.” Jawabku.  Mess ini terletak di pinggir laut, alasan utama aku sangat menyukainya.

“Baiklah kalau itu maumu.  Istirahatlah, besok pagi aku kenalkan kamu ke kontraktor yang kerja sama dengan kita.” 

Setelah Dimas pulang aku masuk ke kamar yang telah disediakan.  Ah, kamar ini masih seperti dulu.  Aku membuka jendelanya yang menghadap ke laut.  Semilir angin laut pun membelai wajahku, dan entah dari mana terngiang sebuah lagu di telingaku saat aku memejamkan mata.

“I could stay lost in this moment, forever...”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar