Come in with the Rain

Rabu, 17 April 2013

Fragment #1




Sore yang cerah di pinggir pantai.  Dua jam lagi matahari akan terbenam.  Dan pasti itulah yang dinantikan sebagian besar pengunjung pantai ini.  Pasangan-pasangan dari beragam usia pun bermunculan.  Ah, malam ini malam minggu ya, pantas.  Laut yang terhampar sejauh mata memandang dan langit yang menyatu di ujung horison memang tidak pernah bosan untuk dikunjungi.  Aku memang menyukai laut.  Suka sekali.  Aku senang berlama-lama di pantai atau mengikuti pelayaran-pelayaran ke laut dalam untuk memancing.  Untungnya pekerjaanku memberikan akses untuk melakukan itu.  Memandang laut dan mendengarkan suara ombak sangat menenangkan.  Bagai hipnoterapi yang bisa kaunikmati tanpa harus tertidur dan khawatir melakukan hal-hal yang memalukan.

Dan disinilah aku berada.  Di tepi laut, dua jam menjelang matahari terbenam.  Bersama dengan makhluk unik yang satu ini, Rei.

”Kamu pernah membayangkan ngga Eri, gimana kalau tiba-tiba kamu terbangun pagi hari, dan ternyata kamu sudah ngga ada di tempat tidurmu?  Terus kamu bisa melihat tubuhmu sendiri di bawah kakimu?
Atau kamu pernah ngga membayangkan kalau kamu lagi jalan sambil ngobrol, terus tahu-tahu percakapanmu terhenti dan kamu melihat lawan bicaramu berteriak panik sambil mengguncang-guncangkan tubuhmu?” Rei bertanya sambil menatap mataku lurus.

”Kenapa sih kamu nanya begitu?  Kamu ngga berniat bunuh diri kan Rei?  Aku ngga mau sampai diinterogasi polisi karena jadi orang terakhir yang kamu temui hari ini.”  Aku bertanya sambil tertawa.

”Hahaha..  Aku paling anti sama bunuh diri tau.  Aku nanya serius.”

”Terus, kenapa kamu nanya begitu?”  Aku mengulang pertanyaanku.

”Aku cuma tiba-tiba kepikiran.  Aku hanya membayangkan bagaimana seandainya kalau itu terjadi padaku.  Apakah nanti orang-orang yang mengenalku akan menangis, atau justru senang.  Apa yang akan mereka katakan tentang diriku selagi aku masih hidup.  Apa yang akan mereka tulis di facebook-ku.  Apakah mereka akan mengunjungi makamku dan membawakan bunga. Apa mereka nanti akan mendoakanku.  Apa yang akan aku lakukan ketika mereka melanjutkan hidup.”  Rei berkata sambil memandangi lautan.  ”Aku takut.”  bisiknya lirih.

Kadang aku takjub dengan isi pikiran Rei.  Aku selalu mengagumi kekuatannya.  Kegigihannya dalam melakukan apa pun.  Kemampuannya yang selalu terlihat di atas rata-rata.  Semua orang akan berkata Rei adalah seorang yang pandai dan menyenangkan.  Tetapi terkadang aku merasa Rei terlalu memaksakan diri.  Seperti gadis kecil yang terjebak dalam tubuh seorang wanita.  Seperti cerita Alice in Wonderland yang pernah kubaca.

”Aku tidak tahu, Rei.  Aku juga tidak ingin mencari tahu.  Bukankah kita diberikan kesempatan hidup untuk menjalani kehidupan ini sebaik-baiknya.  Untuk merasakan setiap momen yang datang dan belajar dari setiap kesalahan dan kepedihan.  Tidak usah dipikirkan kemana jiwa kita akan pergi nanti.  Sekarang, dan disini, itulah hidup sebenarnya.  Karena kita tidak tahu detik berikutnya  akan jadi apa.  Kita juga tidak tahu detik yang lewat barusan adalah nyata atau hanya ilusi optik.  Sekarang, dan disini.  Kita yang terjebak dalam kumparan waktu yang sama inilah yang benar-benar nyata.”  Rei menatapku dengan mata sayu-nya.  ”Dan aku janji, kalau aku hidup lebih lama, aku akan rajin berkunjung ke makam kamu sambil bawa bunga dan CD-CD lagu terbaru, hahaha..”  Aku menggodanya sambil mengacak-ngacak rambutnya lembut.

”Eriii..kok bawa CD siih?? ”  Rungutnya sambil berusaha memukulku.

”Hahaha..supaya kamu ngga kesepian kan.”  Rei pun tersenyum.  Aku menyukai wajahnya yang selalu penuh ekspresi.  Rei, tak sadarkah kamu kalau memandangmu seperti melihat matahari terbenam, indah dan hangat.

”Kamu tahu Eri, apa yang paling aku takutkan bukanlah kematian, aku lebih takut kehilangan kendali atas pikiranku, aku takut kehilangan semua endapan memori yang ada dalam kepalaku.  Termasuk memori hari ini.”  Rei berkata serius.

Dan aku kehilangan kata-kata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar