Sore yang cerah di pinggir
pantai. Dua jam lagi
matahari akan terbenam. Dan pasti itulah
yang dinantikan sebagian besar pengunjung pantai ini. Pasangan-pasangan dari beragam usia pun
bermunculan. Ah, malam ini malam minggu
ya, pantas. Laut yang terhampar sejauh
mata memandang dan langit yang menyatu di ujung horison memang tidak pernah
bosan untuk dikunjungi. Aku
memang menyukai laut. Suka sekali. Aku senang berlama-lama di pantai atau
mengikuti pelayaran-pelayaran ke laut dalam untuk memancing. Untungnya pekerjaanku memberikan akses untuk
melakukan itu. Memandang laut dan
mendengarkan suara ombak sangat menenangkan.
Bagai hipnoterapi yang bisa kaunikmati tanpa harus tertidur dan khawatir
melakukan hal-hal yang memalukan.
Dan disinilah aku berada. Di tepi laut, dua jam menjelang matahari
terbenam. Bersama dengan makhluk unik
yang satu ini, Rei.
”Kamu pernah membayangkan ngga
Eri, gimana kalau tiba-tiba kamu terbangun pagi hari, dan ternyata kamu sudah
ngga ada di tempat tidurmu? Terus kamu
bisa melihat tubuhmu sendiri di bawah kakimu?
Atau kamu pernah ngga
membayangkan kalau kamu lagi jalan sambil ngobrol, terus tahu-tahu percakapanmu
terhenti dan kamu melihat lawan bicaramu berteriak panik sambil
mengguncang-guncangkan tubuhmu?” Rei bertanya sambil menatap mataku lurus.
”Kenapa sih kamu nanya
begitu? Kamu ngga berniat bunuh diri kan
Rei? Aku ngga mau sampai diinterogasi
polisi karena jadi orang terakhir yang kamu temui hari ini.” Aku bertanya sambil tertawa.
”Hahaha.. Aku paling anti sama bunuh diri tau. Aku nanya serius.”
”Terus, kenapa kamu nanya
begitu?” Aku mengulang pertanyaanku.
”Aku cuma tiba-tiba
kepikiran. Aku hanya membayangkan
bagaimana seandainya kalau itu terjadi padaku.
Apakah nanti orang-orang yang mengenalku akan menangis, atau justru
senang. Apa yang akan mereka katakan
tentang diriku selagi aku masih hidup.
Apa yang akan mereka tulis di facebook-ku. Apakah mereka akan mengunjungi makamku dan
membawakan bunga. Apa mereka nanti akan mendoakanku. Apa yang akan aku lakukan ketika mereka
melanjutkan hidup.” Rei berkata sambil
memandangi lautan. ”Aku takut.” bisiknya lirih.
Kadang aku takjub dengan isi
pikiran Rei. Aku selalu mengagumi
kekuatannya. Kegigihannya dalam
melakukan apa pun. Kemampuannya yang
selalu terlihat di atas rata-rata. Semua
orang akan berkata Rei adalah seorang yang pandai dan menyenangkan. Tetapi terkadang aku merasa Rei terlalu
memaksakan diri. Seperti gadis kecil
yang terjebak dalam tubuh seorang wanita.
Seperti cerita Alice in Wonderland yang pernah kubaca.
”Aku tidak tahu, Rei. Aku juga tidak ingin mencari
tahu. Bukankah kita diberikan kesempatan
hidup untuk menjalani kehidupan ini sebaik-baiknya. Untuk merasakan setiap momen yang datang dan
belajar dari setiap kesalahan dan kepedihan.
Tidak usah dipikirkan kemana jiwa kita akan pergi nanti. Sekarang, dan disini, itulah hidup
sebenarnya. Karena kita tidak tahu detik
berikutnya akan jadi apa. Kita juga tidak tahu detik yang lewat barusan
adalah nyata atau hanya ilusi optik.
Sekarang, dan disini. Kita yang
terjebak dalam kumparan waktu yang sama inilah yang benar-benar nyata.” Rei menatapku dengan mata sayu-nya. ”Dan aku janji, kalau aku hidup lebih lama,
aku akan rajin berkunjung ke makam kamu sambil bawa bunga dan CD-CD lagu
terbaru, hahaha..” Aku menggodanya
sambil mengacak-ngacak rambutnya lembut.
”Eriii..kok bawa CD siih??
” Rungutnya sambil berusaha memukulku.
”Hahaha..supaya kamu ngga
kesepian kan.” Rei pun tersenyum. Aku menyukai wajahnya yang selalu penuh
ekspresi. Rei, tak sadarkah kamu kalau
memandangmu seperti melihat matahari terbenam, indah dan hangat.
”Kamu tahu Eri, apa yang
paling aku takutkan bukanlah kematian, aku lebih takut kehilangan kendali atas
pikiranku, aku takut kehilangan semua endapan memori yang ada dalam
kepalaku. Termasuk memori hari
ini.” Rei berkata serius.
Dan aku kehilangan kata-kata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar