Their First Meeting
Balikpapan, Mei
2002
Panas matahari
dan hembusan angin dari laut menyambutku yang baru saja tiba di kota ini. Masalah pekerjaan memang tidak ada
habisnya. Rencanaku mengambil cuti
seminggu bulan ini pun terpaksa kubatalkan karena ada masalah mendadak di perwakilan
kami di kota ini. Walaupun awalnya aku
enggan pergi, namun begitu temanku, Dimas, yang bertugas disini menelpon dan menyampaikan
rencananya untuk menikah, aku pun mengiyakan.
Kupikir tidak ada salahnya mengundur rencana cutiku untuk membereskan
masalah disini, sekaligus untuk menghadiri acara Dimas.
Pekerjaanku di
salah satu departemen pemerintahan memang terkadang mengharuskanku melakukan
perjalanan dinas keluar kota untuk berkoordinasi dengan kantor perwakilan
departemen kami di daerah. Apalagi jika
sedang ada proyek pembangunan seperti ini.
Salah satu pertimbangan atasanku untuk mengirimkanku menjadi pengawas
pasti karena aku sudah pernah tinggal di kota ini. Ya, aku memang tinggal di kota ini sampai
tahun lalu. Setelah melewati masa pra
jabatan aku memang langsung ditugaskan di kota ini, dan tiga tahun kemudian aku
di mutasi ke ibukota.
Tiga tahun di
kota ini tentu saja membuatku tidak kekurangan teman. Dimas adalah sahabat baikku selama aku di
kota ini. Kami sama-sama memulai karir
sebagai teman seangkatan, hanya saja Dimas belum mendapat kesempatan untuk
mutasi. Tapi rasanya itu bukan masalah
besar baginya, buktinya, Dimas menemukan jodohnya di kota ini.
“Datanglah Eri, kalau kamu sampai tidak
datang ke acaraku, aku obrak-abrik rumahmu nanti, hahaha..” Dimas meneleponku
dua minggu lalu saat menyampaikan undangannya.
“Kamu ini Dimas, itu sih bukan mengundang,
tapi memaksa, hahaha..tapi rasanya aku memang terpaksa harus datang ke acaramu,
aku ditugaskan untuk berkoordinasi dengan kontraktor yang akan membangun
jembatan penghubung kota dengan kabupaten” sahutku.
“Oh jadi kamu yang akhirnya ditugaskan mengawasi,
baguslah, berarti kamu harus berbaik-baik denganku Eri, karena aku yang
bertanggung jawab di bagian itu” jawab
Dimas.
“Wah, berarti aku benar-benar sangat amat
terpaksa harus datang kesana, ya sudah, jemput aku di bandara ya, pesawatku
Minggu depan mendarat jam lima sore di Balikpapan”. Dimas pun mengiyakan permintaanku dan
berjanji menjemputku di bandara.
Aku sudah
berdiri di tempat taksi berjejer dengan rapi menunggu penumpang sambil
menikmati hembusan angin laut saat telepon genggamku berbunyi.
“Ya Dimas,
dimana kamu? Aku sudah diluar nih”.
“Aku masih
parkir nih, tunggu sebentar ya” jawab Dimas.
Aku menutup
telepon dan berdiri menyandarkan tubuhku di tiang kayu. Bandara ini memang didekorasi dengan
ukiran-ukiran kayu khas suku Dayak, tiang-tiang kayu besar dengan ukiran-ukiran
indah menjadi ciri khas yang membedakannya dengan bandara lain. Untunglah hari ini tidak begitu ramai, jadi
aku bisa menunggu dengan tenang.
“I could stay
awake, just to hear you breathing… watch you smile while you’re sleeping, while
you’re far away and dreaming… “
Aku terkejut
mendengar senandung perlahan dari sebelah kiriku. Rupanya seorang gadis yang juga berdiri
bersandar di tiang yang sama denganku.
Sepertinya dia tidak sadar kalau senandungnya bisa kudengar. Gadis yang menarik, pikirku. Dengan rambut ikal sebahu yang dibiarkan
tergerai di bawah topi kupluknya, sebagian poninya menutupi sebelah matanya
yang seolah-olah sedang memandang seseorang di hadapannya. Rupanya dia sedang mendengarkan musik, aku
bisa melihat music player-nya yang terselip di dalam kantung
cardigan oranye nya. Oranye, pilihan
warna yang tidak biasa. Ransel, celana
jeans, dan sepatu kets, mungkin dia anak pegawai perusahaan minyak yang kuliah
di Jawa dan menghabiskan liburan semester kembali ke rumah, tipikal kebanyakan
anak muda di kota ini.
“I could
spend my life in this sweet surrender, I could stay lost in this moment forever…”
aku mengenali
lagu I Don’t Wanna Miss a Thing dari Aerosmith yang disenandungkannya. Suara yang lembut.
“Eri, maaf
membuatmu lama menunggu, aku tidak dapat tempat di dekat sini, jadi agak jauh
parkirnya” suara Dimas membuatku
mengalihkan pandangan dari gadis itu.
“Ah, alasan kamu
Dimas, bilang saja kamu memang telat berangkat kesini” ujarku sambil memeluk
sobatku itu.
“Hahaha..separuhnya
betul sih, apa kabar kamu?” tanya Dimas.
“Baik, seperti
yang kau lihat, yuk kita berangkat.” Dimas mengambil koper kecil yang kubawa
dan menunjukkan arah ke mobilnya. Aku
menoleh sekilas dan tidak kudapati lagi gadis itu disebelahku.
“Jadi, gimana persiapan pernikahanmu Dim?”
“Yah, ternyata
tidak sesederhana yang kubayangkan. Aku hanya
membayangkan kami berdua dengan keluarga masing-masing di depan penghulu, bawa
mas kawin, beres. Ternyata banyak sekali
yang harus disiapkan. Baju, cincin,
seserahan, resepsi, kemauan orang tua, kemauan calon mertua, sampai ingin
kubawa lari saja calonku supaya tidak repot, hahaha..” Aku ikut tertawa
mendengar jawaban dari Dimas.
“Lalu, kapan
kamu cuti? Kok calon pengantin masih sibuk mengurus pekerjaan?” tanyaku.
“Pastinya
setelah aku menyerahkan semua pekerjaanku ke kamu Eri” jawabnya sambil
tersenyum lebar.
Kami pun sampai
di mess departemen yang menjadi tempat tinggal sementara bagi kami yang berasal
dari luar kota.
“Kamu yakin mau
di mess? Padahal kalau kamu mau di hotel pun tidak apa-apa kan?” tanya Dimas.
“Tidak apa-apa,
aku lebih suka disini.” Jawabku. Mess
ini terletak di pinggir laut, alasan utama aku sangat menyukainya.
“Baiklah kalau
itu maumu. Istirahatlah, besok pagi aku
kenalkan kamu ke kontraktor yang kerja sama dengan kita.”
Setelah Dimas
pulang aku masuk ke kamar yang telah disediakan. Ah, kamar ini masih seperti dulu. Aku membuka jendelanya yang menghadap ke
laut. Semilir angin laut pun membelai
wajahku, dan entah dari mana terngiang sebuah lagu di telingaku saat aku
memejamkan mata.
“I could stay lost in this moment, forever...”