Suratmu itu tidak akan pernah terkirim, karena sebenarnya kamu hanya 
 ingin berbicara pada dirimu sendiri. Kamu ingin berdiskusi dengan 
angin,  dengan wangi sebelas tangkai sedap malam yang kamu beli dari 
tukang  bunga berwajah memelas, dengan nyamuk-nyamuk yang cari makan, 
dengan  malam, dengan derik jam... tentang dia.
Dia, yang tidak pernah kamu mengerti. Dia, racun yang membunuhmu perlahan. Dia, yang kamu reka dan kamu cipta.
Sebelah
 dari dirimu menginginkan agar dia datang, membencimu hingga  muak dia 
mendekati gila, menertawakan segala kebodohannya, kekhilafannya  untuk 
sampai jatuh hati padamu, menyesalkan magis yang hadir naluriah  setiap 
kali kalian berjumpa. Akan kamu kirimkan lagi tiket bioskop, bon  
restoran, semua tulisannya- dari mulai nota sebaris sampai doa  
berbait-bait. Dan beceklah pipinya karena geli, karena asap dan abu dari
  benda-benda yang ia hanguskan- bukti-bukti bahwa kalian pernah saling 
 tergila-gila- berterbangan masuk ke matanya. Semoga ia pergi dan tak  
pernah menoleh lagi. Hidupmu, hidupnya, pasti akan lebih mudah.
Tapi,
 sebelah dari kamu menginginkan agar dia datang, menjemputmu,  mengamini
 kalian, dan untuk kesekian kali, jatuh hati lagi,  segila-gilanya, 
sampai batas gila dan waras pupus dalam kesadaran murni  akan Cinta. 
Kemudian mendamparkan dirilah kalian di sebuah alam tak  dikenal untuk 
membaca ulang semua kalimat, mengenang setiap inci  perjalanan, 
perjuangan, dan ketabahan hati. Betapa sebelah darimu  percaya bahwa 
setetes air mata pun akan terhitung, tak ada yang mengalir  mubazir, 
segalanya pasti bermuara di satu samudra tak terbatas, lautan  merdeka 
yang bersanding sejajar dengan cakrawala... dan itulah tujuan  kalian.
Kalau
 saja hidup tidak ber-evolusi, kalau saja sebuah momen dapat  selamanya 
menjadi fosil tanpa terganggu, kalau saja kekuatan kosmik  mampu stagnan
 di satu titik, maka...tanpa ragu kamu akan memilih SATU  detik 
bersamanya untuk diabadikan. Cukup satu.
Satu detik yang 
segenap keberadaannya dipersembahkan untuk  bersamamu, dan bukan dengan 
ribuan hal lain yang menanti untuk dilirik  pada detik berikutnya. 
Betapa kamu rela membatu untuk itu.
Tapi, hidup ini cair. 
Semesta ini bergerak. Realitas berubah.  Seluruh simpul dari kesadaran 
kita berkembang mekar. Hidup akan mengikis  apa saja yang memilih diam, 
memaksa kita untuk mengikuti arus agungnya  yang jujur tetapi penuh 
rahasia. Kamu, tidak terkecuali.
Kamu takut.
Kamu takut karena ingin jujur. Dan kejujuran menyudutkanmu untuk mengakui kamu mulai ragu.
Dialah
 bagian terbesar dalam hidupmu, tapi kamu cemas. Kata  'sejarah' mulai 
mengggantung hati-hati diatas sana. Sejarah kalian.  Konsep itu 
menakutkan sekali.
Sejarah memiliki tampuk istimewa dalam 
hidup manusia, tapi tidak  lagi melekat utuh pada realitas. Sejarah 
seperti awan yang tampak padat  berisi tapi ketika disentuh menjadi 
embun yang rapuh.
Skenario perjalanan kalian 
mengharuskanmu untuk sering  menyejarahkannya, merekamnya, lalu 
memainkannya ulang di kepalamu  sebagai Sang Kekasih Impian, Sang 
Tujuan, Sang Inspirasi bagi segala  mahakarya yang termuntahkan ke 
dunia. Sementara dalam setiap detik yang  berjalan, kalian seperti 
musafir yang tersesat di padang. Berjalan  dengan kompas masing-masing, 
tanpa ada usaha saling mencocokkan.  Sesekali kalian bertemu, berusaha 
saling toleransi atas nama Cinta dan  Perjuangan yang Tidak Boleh 
Sia-sia. Kamu sudah membayar mahal untuk  perjalanan ini. Kamu 
pertaruhkan segalanya demi apa yang kamu rasa  benar. Dan mencintainya 
menjadi kebenaran tertinggimu.
Lama baru kamu menyadari 
bahwa Pengalaman merupakan bagian tak  terpisahkan dari hubungan yang 
diikat oleh seutas perasaan mutual.
Lama bagi kamu untuk berani menoleh ke belakang, menghitung, berapa banyakkah pengalaman nyata yang kalian alami bersama?
Sebuah
 hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan akan menjadi  hantu 
yang tidak menjejak bumi, dan alasan cinta yang tadinya  diagungkan bisa
 berubah menjadi utang moral, investasi waktu, perasaan,  serta 
perdagangan kalkulatif antara dua pihak.
Cinta butuh 
dipelihara. Bahwa didalam sepak-terjang-nya yang serba  mengejutkan, 
cinta ternyata masih butuh mekanisme agar mampu bertahan.
Cinta
 jangan selalu ditempatkan sebagai iming-iming besar, atau  seperti 
ranjau yang tahu-tahu meledakkanmu-entah kapan dan kenapa. Cinta  yang 
sudah dipilih sebaiknya diikutkan di setiap langkah kaki,  merekatkan 
jemari, dan berjalanlah kalian bergandengan... karena cinta  adalah 
mengalami.
Cinta tidak hanya pikiran dan kenangan. Lebih 
besar, cinta adalah  dia dan kamu. Interaksi. Perkembangan dua manusia 
yang terpantau agar  tetap harmonis. Karena cinta pun hidup dan bukan 
cuma maskot untuk  disembah sujud.
Kamu ingin berhenti 
memencet tombol tunda. Kamu ingin berhenti  menyumbat denyut alami hidup
 dan membiarkannya bergulir tanpa beban.
Dan kamu tahu, itulah yang tidak bisa dia berikan kini.
Hingga akhirnya...
Di
 meja itu, kamu dikelilingi tulisan tangannya yang tersisa (kamu  baru 
sadar betapa tidak adilnya ini semua. Kenapa harus kamu yang  kebagian 
tugas dokumentasi dan arsip, sehingga cuma kamulah yang  tersiksa?).
Jangan heran kalau kamu menangis sejadi-jadinya.
Dia,
 yang tidak pernah menyimpan gambar rupamu, pasti tidak tahu apa  
rasanya menatap lekat-lekat satu sosok, membayangkan rasa sentuh dari  
helai rambut yang polos tanpa busa pengeras, rasa hangat uap tubuh yang 
 kamu hafal betul temperaturnya.
Dan kamu hanya bisa 
berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu,  kelemahan itu, dengan wangi 
bunga yang melangu, dengan nyamuk-nyamuk  yang putus asa, dengan malam 
yang pasrah digusur pagi, dengan derik jam  dinding yang gagu karena 
habis daya.
Sampai pada halaman kedua suratmu, kamu yakin 
dia akan paham, atau  setidaknya setengah memahami, betapa sulitnya 
perpisahan yang dilakukan  sendirian.
Tidak ada sepasang 
mata lain yang mampu meyakinkanmu bahwa ini  memang sudah usai. Tidak 
ada kata, peluk, cium, atau langkah kaki  beranjak pergi, yang mampu 
menjadi penanda dramatis bahwa sebuah akhir  telah diputuskan bersama.
Atau
 sebaliknya, tidak ada sergahan yang membuatmu berubah pikiran,  tidak 
ada kata 'jangan' yang mungkin, apabila diucapkan dan ditindakkan  
dengan tepat, akan membuatmu menghambur kembali dan tak mau pergi lagi.
Kamu pun tersadar, itulah perpisahan paling sepi yang pernah kamu alami.
Ketika
 surat itu tiba di titiknya yang terakhir, masih akan ada  sejumput kamu
 yang bertengger tak mau pergi dari perbatasan usai dan  tidak usai. 
Bagian dari dirimu yang merasa paling bertanggung jawab atas  semua yang
 sudah kalian bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hati  sedahsyat
 itu. Dirimu yang mini, tapi keras kepala, memilih untuk tidak  ikut 
pergi bersama yang lain, menetap untuk terus menemani sejarah. Dan  
karena waktu semakin larut, tenagamu pun sudah menyurut, maka kamu akan 
 membiarkan si kecil itu bertahan semaunya.
Mungkin, suatu
 saat, apabila sekelumit dirimu itu mulai kesepian dan  bosan, ia akan 
berteriak-teriak ingin pulang. Dan kamu akan  menjemputnya, lalu 
membiarkan sejarah membentengi dirinya dengan tembok  tebal yang tak 
lagi bisa ditembus. Atau mungkin, ketika sebuah keajaiban  mampu menguak
 kekeruhan ini, jadilah ia semacam mercusuar, Bintang  Selatan... yang 
menunjukkan jalan pulang bagi hatimu untuk, akhirnya,  menemuiku.
Aku,
 yang merasakan apa yang kau rasakan. Yang mendamba untuk  mengalami. 
Aku, yang telah menuliskan surat-surat cinta padamu.  Surat-surat yang 
tak pernah sampai.
Filosofi Kopi : Surat yang Tak Pernah Sampai by Dewi Lestari
Beautiful
 isn't it.. from my favourite author (and yes we share the same birthday
 :p ) indah..walaupun menyedihkan..tapi bukankah keindahan itu hanya 
akan terasa saat momen itu tiba..jadi salahkah saya kalau hanya ingin 
menikmati momen yang berjalan..karena di detik berikutnya momen itu 
hanya akan menjadi sejarah dan tidak bisa terulang.. :)
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar